Sumber ilustrasi: pixabay
Oleh: Syamsudin, M.A.
Dekan Fisipol Universitas Proklamasi 45
9 Juni 2025 12.45 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Peringatan “Lahirnya Pancasila”, rasanya baik untuk menjadi momen perenungan bersama. Sebagai bahan renungan, baik jika kita mengingat kembali apa yang disampaikan Bung Karno, dalam teks 1 Juni 1945: “Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Panca Sila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ke-Tuhanan yang luas dan sempurna, –janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan.”
Kutipan panjang ini kita kutip untuk memperlihatkan bahwa bahkan Bung Karno telah mengingatkan tentang pentingnya usaha (perjuangan), agar apa yang menjadi cita-cita bangsa, sebagaimana termuat dalam Pancasila dapat berwujud nyata dalam hidup masyarakat. Apa yang ingin diangkat di sini adalah mengapa hingga kini keadilan sosial, sebagaimana tertulis sebagai sila kelima Pancasila, belum kunjung menjadi nyata dalam hidup bangsa, khususnya di pedesaan. Secara lebih jelas, mengapa desa-desa kita belum hidup bersama keadilan sosial, padahal tujuan tersebut merupakan keadaan yang ingin dicapai bangsa ketika memerdekakan dirinya.
Sebab-sebab
Sedikitnya ada lima hal yang perlu diperiksa kembali, yakni: Pertama, kenyataan asimetri, baik dalam relasi kuasa maupun akses atas sumber daya. Banyak desa dapat bersaksi bahwa pihaknya masih mengalami keterbatasan akses terhadap sumber daya (keuangan, informasi, teknologi) dan pengambilan keputusan. Sementara itu, kebijakan dan alokasi sumber daya lebih banyak ditentukan oleh aktor-aktor di tingkat pusat atau provinsi. Meskipun reformasi telah mendorong desentralisasi, namun di tingkat desa, hal ini tidak selalu disertai dengan penguatan kapasitas kelembagaan dan tata kelola yang baik di desa.
Kedua, distribusi ekonomi yang relatif tidak merata. Kita ketahui bersama bahwa keadilan sosial menuntut distribusi hasil pembangunan yang merata. Namun, pertumbuhan ekonomi cenderung terpusat di wilayah perkotaan dan kawasan industri. Sementara itu, banyak desa masih bergantung pada sektor primer (pertanian tradisional) yang memiliki produktivitas rendah, sementara sektor sekunder dan tersier yang lebih produktif tumbuh di kota.
Ketiga, ketimpangan infrastruktur dan pelayanan publik. Memang dana desa telah didorong untuk melakukan perbaikan di sana-sini. Tetapi, masalah seperti akses jalan, listrik, air bersih, internet, layanan pendidikan dan kesehatan, serta lembaga keuangan dan investasi, masih menjadi tantangan tersendiri. Hal ini tentu dapat ikut mendorong biaya hidup tinggi dan produktivitas rendah di desa, yang berarti memperkuat lingkaran kemiskinan struktural.
Keempat, kelembagaan desa yang lemah. Meskipun UU Desa (No. 6 Tahun 2014) memberikan otonomi yang lebih besar kepada desa, implementasinya menghadapi beberapa tantangan, antara lain: (a) masih lengkatnya anggaran desa dan politik praktis; (b) kapasitas aparatur desa yang belum merata; dan (c) artisipasi masyarakat desa dalam perencanaan pembangunan sering bersifat formalitas.
Kelima, konsep keadilan sosial yang tidak operasional. Kita mungkin dapat mengatakan bahwa keadilan sosial hanya menjadi slogan normatif tanpa indikator yang konkret di tingkat desa, yang dalam penyusunannya melibatkan seluruh stakeholders, khususnya warga desa itu sendiri. Yang dimaksudkan di sini bukan indikator top down, melainkan indikator bottom up.
Peran Kampus
Apakah keadaan tersebut memperlihatkan tidak adanya harapan, atau sebaliknya? Kita tentu saja punya pandangan optimis, bahwa masa depan memberi kesempatan untuk perbaikan. Ada tiga hal yang perlu dirintis untuk diperjuangkan, dimana kampus dapat menjadi motornya. Pertama, konseptualisasi ide keadilan sosial, hingga ke tingkat yang operasional di pedesaan. Hal ini penting, agar di lapangan, selain prinsip dasar dan idealisme, perlu dilengkapi dengan panduan langkah kongkrit.
Kedua, untuk memastikan tindakan operasional atas hasil pertama, maka dibutuhkan semacam kerjasama yang luas dan kuat. Kerjasama lintas sektor, baik vertikal maupun horizontal. Kerjasama diarahkan untuk memperkuat partisipasi desa tersebut, agar desa benar-benar makin berdaya dan mampu menciptakan kemakmuran bersama.
Ketiga, untuk memperkuat langkah kedua, dan untuk memastikan otoritas memberikan dukungan yang dibutuhkan, maka perlu ada payung hukum yang lebih tinggi. Untuk itulah, hendak diusulkan agar ketentuan mengenai desa tidak cukup hanya berbentuk UU, melainkan perlu masuk ke dalam UUD ’45. Tentu saja kita membutuhkan kajian komprehensif untuk langkah penting ini. Kampus, OMS, dan desa sendiri, dapat menjadi tenaga utamanya.