Dialog (4)

sumber ilustrasi: unsplash

3 Mei 2025 17.00 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Pengantar – berikut ini adalah dialog lanjut antara X (yang dalam hal ini dianggap mewakili tradisi desa), Y (yang diandaikan boleh mewakili tradisi ilmu) dan Z (yang diandaikan bukan dari keduanya). Jika dalam edisi lalu [Dialog (3)], telah ditampilkan percakapan ketiganya, terkait ciri kedua, yakni kontekstultas pengetahuan, maka dalam edisi kali ini, akan dipercakapkan ciri partisipatif. Yang dalam hal ini pengetahuan dengan ciri partisipatif, dipahami sebagai pengetahuan yang lahir dari keterlibatan, bukan pengamatan netral atau pengamatan “yang berjarak”. Subjek yang tahu adalah bagian dari dunia yang diketahui. Pengetahuan dengan sifat ini, dihasilkan bersama dan dalam komunitas; bergantung pada kehadiran, keterlibatan tubuh, dan kedekatan eksistensial.

Beginilah percakapan umum atas masalah tersebut:

X:

Pengetahuan setempat bersifat partisipatif dan intersubjektif. Pernyataan ini tidak hanya menunjukkan bagaimana pengetahuan itu ditransmisikan, tetapi juga menyentuh dasar dari caranya dibentuk dan dihidupi. Dalam pengetahuan setempat, mengetahui bukan proses yang terjadi dalam isolasi antara subjek dan objek, bukan pula kegiatan mental yang bersifat internal dan reflektif semata, melainkan merupakan bentuk keterlibatan aktif dalam dunia yang sedang dialami bersama orang lain. Pengetahuan tidak hadir sebagai hasil pengamatan dari luar, tetapi sebagai hasil dari keterlibatan langsung dalam suatu tatanan hidup yang telah berlangsung secara kolektif. Oleh karena itu, partisipasi dan intersubjektivitas bukan sekadar ciri prosedural, melainkan landasan epistemologis: dasar dari bagaimana pengetahuan setempat lahir, diuji, dan diwariskan.

Pengetahuan dalam tradisi setempat bukanlah sesuatu yang “diterima” dalam bentuk statis, melainkan sesuatu yang dibentuk bersama melalui praktik. Seorang anggota komunitas tidak mengetahui bagaimana menandai waktu tanam hanya karena mendengarkan penjelasan dari tetua, tetapi karena ikut menanam, memperhatikan perubahan tanah, mencermati gerak awan, dan merasakan suhu yang berubah. Pengetahuan ini terjadi melalui keterlibatan tubuh, bukan sekadar melalui pemahaman mental. Dalam bentuknya yang paling dalam, pengetahuan partisipatif mensyaratkan kehadiran. Suatu kehadiran yang tidak bisa digantikan oleh representasi verbal atau visual.

Lebih jauh, partisipasi ini tidak terjadi dalam kesendirian. Namun, selalu berakar dalam dunia sosial, dalam hubungan antara satu orang dengan yang lain, dan antara generasi yang berbeda. Dalam pengetahuan setempat, tidak ada subjek tunggal yang menjadi pusat kognisi; yang ada adalah jaringan pengalaman bersama, interaksi berulang yang membentuk kepercayaan, pengakuan, dan kontinuitas. Inilah yang dimaksud dengan intersubjektivitas: bahwa pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari komunitas pengetahuan, bahwa “mengetahui” berarti menjadi bagian dari struktur sosial yang memungkinkan makna dibentuk dan dimaknai bersama.

Intersubjektivitas ini bukan berarti semua orang memiliki pandangan yang sama, tetapi bahwa semua pengetahuan lahir dari medan relasi, bukan dari isolasi. Seorang anak tidak hanya belajar bagaimana mengenali arah angin dari instruksi yang diberikan, tetapi dari pengamatan terhadap cara ibunya menyusun perapian, atau dari bagaimana ayahnya memilih waktu berangkat ke ladang. Pengetahuan ditransmisikan bukan hanya melalui ajaran eksplisit, tetapi melalui cara hidup bersama yang mengandung muatan epistemik dalam bentuk yang implisit, halus, dan sering kali tidak disadari. Di sini, pengetahuan bukan sesuatu yang terformulasikan terlebih dahulu, lalu dipindahkan, sebaliknya: lahir dari praktik yang dialami dan dijaga secara kolektif.

Konsekuensi dari sifat partisipatif dan intersubjektif ini adalah bahwa kebenaran dalam pengetahuan setempat bukanlah sesuatu yang ditetapkan oleh satu pihak, atau ditentukan oleh parameter eksternal yang bisa diterapkan secara universal. Sebaliknya, kebenaran merupakan hasil dari pengakuan (penerimaan) kolektif yang dibentuk melalui partisipasi aktif dalam kehidupan bersama. Suatu cara menyembuhkan dianggap benar bukan karena ia telah diuji dalam laboratorium, melainkan karena telah dijalankan, disaksikan (dengan jujur, apa adanya), dan diakui efektivitasnya (nilai guna) oleh komunitas dalam berbagai situasi hidup yang nyata. Validitasnya tidak bersandar pada teori, tetapi pada kepercayaan yang tumbuh dari pengalaman kolektif dan hubungan jangka panjang antar subjek.

Hal ini tidak berarti bahwa pengetahuan setempat menghindari evaluasi. Justru karena hidup dalam praktik dan komunitas, maka dengan sendirinya pengetahuan terus mengalami pengujian. Tentu bukan pengujian formal, tetapi pengujian dalam bentuk keberhasilan bertahan, daya guna, dan resonansi dengan pengalaman yang terus diperbarui. Jika suatu bentuk pengetahuan tidak lagi berfungsi, atau tidak lagi dipercaya karena tidak sesuai dengan pengalaman kolektif, maka dengan sendirinya akan ditinggalkan atau diubah. Mekanisme ini bukan bersifat normatif-formal, melainkan dinamis dan adaptif, karena ia terikat pada kenyataan hidup yang selalu berubah.

Kekuatan dari partisipasi dan intersubjektivitas ini juga terletak pada kemampuannya menciptakan ruang tanggung jawab bersama terhadap pengetahuan. Dalam sistem pengetahuan yang terlalu individualistis, pengetahuan bisa diklaim, dipatenkan, dan dipisahkan dari konteks sosialnya. Namun dalam pengetahuan setempat, karena pengetahuan adalah hasil dari relasi dan dijaga secara bersama, maka tidak berlebihan jika menuntut etik perawatan kolektif. Orang tidak hanya mengetahui, tetapi juga bertanggung jawab terhadap bagaimana pengetahuan itu digunakan, diajarkan, dan diwariskan.

Dengan demikian, pengetahuan setempat sebagai bentuk yang partisipatif dan intersubjektif menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah hasil dari pencapaian mental individu yang terpisah dari dunia, tetapi hasil dari keterlibatan yang penuh dengan dunia dan sesama. Suatu pengetahuan yang tumbuh dalam kehidupan yang dibagi bersama — dalam kerja, dalam cerita, dalam kepercayaan yang dibentuk oleh waktu. Dalam dunia semacam ini, mengetahui tidak pernah bersifat netral atau terlepas, tetapi selalu merupakan bentuk keterikatan (kebersamaan): keterikatan yang membuat pengetahuan itu tidak hanya benar, tetapi juga bermakna, dapat dipercaya, dan layak diwariskan.

Y:

Dari sudut pandang ilmu pengetahuan modern, klaim bahwa pengetahuan setempat bersifat partisipatif dan intersubjektif menimbulkan persoalan mendasar tentang validitas epistemik, objektivitas, dan proses verifikasi. Dalam kerangka ilmiah, pengetahuan dianggap sahih sejauh dapat dipisahkan dari kondisi subjektif pembentuknya, diuji melalui metode yang transparan, dan dikonfirmasi oleh siapa pun yang mengikuti prosedur yang sama. Oleh karena itu, ketika pengetahuan diklaim sebagai hasil dari partisipasi dan dibentuk melalui hubungan intersubjektif dalam suatu komunitas yang spesifik, sains modern memandang hal itu sebagai bentuk pengetahuan yang terlalu melekat pada pengalaman subjektif dan sosial, sehingga rentan terhadap bias, otoritas informal, dan ketertutupan terhadap kritik eksternal.

Partisipasi, dalam logika pengetahuan ilmiah, adalah bagian dari konteks pengamatan, bukan dasar pembentukan pengetahuan. Ilmu tidak mengabaikan bahwa subjek pengamat memiliki latar belakang dan keterlibatan, namun ia bekerja justru dengan cara mengkoreksi dan menyeimbangkan pengaruh subjektivitas itu. Karena itu, pengetahuan yang valid harus dapat diuji oleh subjek lain yang tidak perlu mengalami atau terlibat secara emosional dan sosial dalam konteks yang sama. Prinsip inilah yang memungkinkan klaim ilmiah dapat divalidasi lintas budaya, lintas bahasa, dan lintas sistem kepercayaan. Ketika pengetahuan setempat diletakkan sepenuhnya dalam kerangka partisipasi dan relasi antar subjek dalam suatu komunitas, ia justru menutup diri dari validasi lintas-subjektif yang menjadi tulang punggung dari kerja ilmiah.

Intersubjektivitas, dalam konteks pengetahuan setempat, seringkali dipahami sebagai pembentukan makna bersama dalam jaringan sosial yang hidup. Akan tetapi, dari perspektif sains, makna yang dibentuk secara sosial belum tentu memiliki kebenaran epistemik. Makna sosial dapat bertahan karena kekuatan simbolik, otoritas budaya, atau tekanan norma, bukan karena kesesuaiannya dengan fakta atau realitas eksternal yang independen dari komunitas itu sendiri. Ketika pengetahuan bergantung pada pengakuan kolektif, kebenaran menjadi fungsi dari konsensus, bukan dari pengujian terhadap kenyataan. Sains justru dibangun dengan asumsi bahwa konsensus tidak selalu menjamin kebenaran, dan bahwa pengetahuan harus tetap terbuka terhadap kemungkinan bahwa mayoritas bisa salah, atau bahwa sistem makna yang stabil bisa menyesatkan.

Kritik ini semakin kuat ketika menyangkut transmisi dan validasi pengetahuan. Dalam percakapan yang menyatakan bahwa pengetahuan setempat ditransmisikan melalui tindakan, tubuh, dan keterlibatan langsung, muncul kesan bahwa pengetahuan itu tidak dapat direpresentasikan dalam bentuk proposisional atau diskursif. Dari sudut pandang ilmu, hal ini menghambat penyebaran, pengujian, dan pengembangan pengetahuan itu sendiri. Jika suatu pengetahuan hanya dapat dipahami melalui partisipasi dalam praktik tertentu, maka tentu akan sangat sulit dipindahkan, diajarkan secara sistematis, atau diuji oleh pihak ketiga. Hal ini akan menimbulkan pertanyaan: bagaimana cara membedakan antara pengetahuan dan kebiasaan? Apakah semua bentuk praktik sosial, karena diwariskan dan dijalani bersama, harus diakui sebagai bentuk pengetahuan yang sahih? Ilmu akan menjawab: tidak selalu.

Lebih lanjut, dalam struktur partisipatif dan intersubjektif, muncul potensi dominasi yang sulit dikritik secara internal. Karena pengetahuan dianggap sebagai hasil dari pengalaman bersama dan otoritas komunitas, maka siapa pun yang mempertanyakan bentuk pengetahuan itu bisa dianggap sebagai “orang luar” atau bahkan “pengkhianat budaya.” Ini menciptakan ruang epistemik yang rentan terhadap dogma setempat, di mana mekanisme kritik menjadi tidak stabil, dan kebenaran menjadi tunduk pada tekanan sosial. Sains modern mengembangkan sistem metodologis justru untuk menghindari ketergantungan pada otoritas setempat semacam ini: dengan membangun proses peer review, transparansi metodologis, dan standarisasi pengujian, sains menciptakan ruang di mana klaim pengetahuan bisa diuji oleh siapa pun, bukan hanya oleh mereka yang “berada di dalam”.

Sains juga mempersoalkan efisiensi dari sistem partisipatif dalam menghasilkan pengetahuan baru. Partisipasi tentu penting dalam pembelajaran sosial dan dalam menjaga kelangsungan kebudayaan, tetapi sains melihat bahwa pengetahuan yang bergantung pada keterlibatan langsung dan relasi sosial akan sangat lambat berkembang dan sulit berinovasi. Sebaliknya, dalam system ilmu, pengetahuan disusun agar dapat direplikasi, didistribusikan, dan dikembangkan lebih lanjut oleh pihak yang tidak berada dalam konteks asal. Dengan begitu, sains mendorong kemajuan pengetahuan secara akumulatif dan kolektif dalam skala yang jauh lebih luas daripada yang dimungkinkan oleh sistem partisipatif setempat.

Pada akhirnya, dari sudut pandang ilmu pengetahuan modern, pengetahuan yang diklaim partisipatif dan intersubjektif memang memiliki nilai kultural dan sosial, tetapi secara epistemik akan menghadapi empat tantangan serius: (1) keterbatasan verifikasi lintas-subjektif, (2) kecenderungan mengikat kebenaran pada otoritas sosial, (3) ketidakterbukaan terhadap kritik eksternal, dan (4) keterbatasan dalam penyebaran dan inovasi. Ilmu tidak menolak bahwa bentuk pengetahuan seperti itu dapat berguna atau bermakna dalam konteks tertentu, tetapi ia akan menahan diri untuk menyebutnya sebagai pengetahuan dalam arti yang ketat, selama pengetahuan itu tidak bersedia membuka diri terhadap uji silang, formulasi proposisional, dan kemungkinan keberlakuan di luar komunitas yang membentuknya.

Dengan demikian, dari perspektif ilmu, mengedepankan partisipasi dan intersubjektivitas sebagai landasan epistemik menghadirkan risiko menyamakan relasi sosial dengan kebenaran, pengalaman dengan pengetahuan, dan keakraban dengan validitas. Kritik ilmu tidak menolak nilai partisipasi, tetapi menolak menjadikannya sebagai syarat utama keabsahan pengetahuan. Dalam dunia di mana pengetahuan harus melampaui komunitas asalnya untuk bisa menyumbang pada pemahaman global, sains tetap bertanya: bagaimana cara mengetahui bahwa sesuatu benar, jika hanya bisa diketahui oleh mereka yang telah mengalaminya bersama? Pertanyaan itu tetap terbuka, dan dari posisi ini, kritik ilmu mempertahankan tuntutan atas bentuk pengetahuan yang dapat diuji, dibagikan, dan dikembangkan oleh siapa pun—bahkan oleh mereka yang tidak ikut serta.

X:

Kritik dari ilmu pengetahuan modern terhadap klaim bahwa pengetahuan setempat bersifat partisipatif dan intersubjektif, pada dasarnya mencerminkan bias epistemologis yang telah lama berakar dalam tradisi pemikiran sains modern: bahwa pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang objektif, terlepas dari subjek, dan berlaku universal. Kritik tersebut menilai bahwa karena pengetahuan setempat tumbuh dari keterlibatan langsung, dari pengalaman tubuh, dari hubungan sosial yang khas dan spesifik, maka tidak dapat diuji secara lintas-subjektif dan karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagai bentuk pengetahuan yang sah secara epistemik. Namun justru di sinilah letak kekeliruan mendasarnya, yakni sebagaimana yang telah pernah disampaikan bahwa kritik tersebut tidak menyadari bahwa kerangka epistemiknya sendiri adalah hasil dari konstruksi historis dan budaya yang partikular, bukan prinsip netral yang berlaku tanpa syarat.

Objektivitas yang diagung-agungkan oleh ilmu modern bukanlah entitas murni yang berdiri di atas semua bentuk pengalaman. Sifat tersebut merupakan produk dari proyek rasionalitas modern yang membentuk pengetahuan sebagai sesuatu yang harus lepas dari pengalaman konkret, dari tubuh, dari afeksi, dan dari sejarah. Dalam proyek ini, subjek epistemik dikonstruksi sebagai pengamat netral yang berdiri di luar dunia, mengukur dan mengklasifikasi segala sesuatu melalui representasi yang bisa diverifikasi secara universal. Namun konstruksi ini tidak netral; ia lahir dari cara tertentu melihat dunia, yang memisahkan manusia dari lingkungan, pikiran dari tubuh, dan pengetahuan dari keterlibatan. Dalam terang ini, kritik terhadap partisipasi dan intersubjektivitas dalam pengetahuan setempat adalah penolakan terhadap bentuk pengetahuan yang tidak tunduk pada paradigma keterpisahan itu.

Pengetahuan setempat menyatakan bahwa mengetahui tidak pernah terjadi dalam jarak, tetapi dalam kedekatan; bahwa memahami bukan sekadar mengamati, tetapi mengalami bersama dan menjalani secara kolektif. Kritik ilmu terhadap hal ini gagal memahami bahwa keterlibatan tubuh dan hubungan sosial bukan sekadar konteks, melainkan sumber dan medium dari kebenaran itu sendiri. Dalam dunia tempat manusia hidup bersama makhluk lain, di mana realitas tidak dapat sepenuhnya dipecah ke dalam variabel-variabel netral, maka partisipasi bukan gangguan terhadap pengetahuan, tetapi syarat utama untuk memahaminya secara mendalam.

Lebih jauh, intersubjektivitas bukan sekadar bentuk konsensus yang rapuh dan terikat norma sosial. Namun merupakan pengakuan bahwa semua pengetahuan selalu dibentuk dalam relasi: antara manusia dan manusia, antara manusia dan dunia, antara generasi yang saling mewariskan cara tahu. Kritik yang menyamakan intersubjektivitas dengan relativisme mengandaikan bahwa hanya pengetahuan yang “berdiri sendiri” yang sah. Tapi tak ada pengetahuan yang benar-benar berdiri sendiri. Bahkan eksperimen laboratorium yang paling steril pun membutuhkan struktur sosial: peralatan, institusi, protokol, dan kepercayaan dalam komunitas ilmiah. Artinya, intersubjektivitas juga hadir dalam ilmu, hanya saja disembunyikan di balik citra “objektivitas”.

Ketika kritik sains menyatakan bahwa pengetahuan partisipatif tidak dapat diuji atau diverifikasi oleh pihak luar, maka disebut telah gagal menyadari bahwa bentuk uji dan validasi pun bersifat kontekstual. Dalam pengetahuan setempat, kebenaran tidak dinyatakan dalam rumus, tetapi diekspresikan dalam keberhasilan yang berulang, dalam resonansi pengalaman, dan dalam kestabilan relasi yang dijaga. Validasi tidak hanya datang dari luar, melainkan dari kekuatan untuk terus hidup dalam praktik dan keyakinan kolektif. Kritik bahwa pengetahuan seperti itu tidak dapat difalsifikasi mengabaikan bahwa pengetahuan setempat memang tidak mencari falsifikasi, karena tidak dibangun sebagai sistem pernyataan, melainkan sebagai sistem orientasi hidup.

Ketika sains mempersoalkan bahwa partisipasi menghambat inovasi karena terlalu lambat atau tidak terstandardisasi, maka perlu diingat bahwa pengetahuan setempat tidak dirancang untuk “bergerak cepat” seperti model inovasi pasar. Berkembang secara perlahan karena menyesuaikan diri dengan ritme dunia yang nyata, dengan perubahan musim, dengan tubuh yang menua, dan dengan alam yang tidak selalu dapat diprediksi. Justru dalam kelambanannya, pengetahuan setempat menyimpan ketahanan: tidak terburu-buru berubah karena tidak tunduk pada tekanan akselerasi, dan karena itu, mampu menjaga dunia tetap dapat dihuni dengan cara yang berkelanjutan.

Kritik terhadap otoritas sosial dalam pengetahuan setempat juga terlalu cepat menyimpulkan bahwa semua bentuk otoritas komunitas adalah penindasan terhadap kebenaran. Namun kritik itu tidak memperhitungkan bahwa dalam komunitas, pengetahuan tidak dilindungi oleh institusi formal, melainkan oleh jaringan kepercayaan dan pengakuan yang dibentuk dari pengalaman bersama. Otoritas dalam pengetahuan setempat bukan otoritas doktriner, tetapi otoritas relasional — diberikan karena seseorang telah hidup lama, telah mengalami banyak, dan telah menjadi saksi atas perubahan yang dialami bersama. Tidak semua bentuk otoritas adalah penjara bagi kritik; beberapa di antaranya adalah penjaga agar pengetahuan tidak kehilangan akar dan arah.

Pada akhirnya, kritik dari paradigma ilmu pengetahuan terhadap sifat partisipatif dan intersubjektif pengetahuan setempat bukan hanya mengandung bias, tetapi juga gagal mengakui batas-batas dari prinsipnya sendiri. Sains tidak dapat mengklaim posisi universal tanpa melihat bahwa yang bersangkut juga dibentuk dalam komunitas, dalam sejarah, dan dalam praktik. Artinya tidak kebal terhadap ideologi, tidak bebas dari relasi kuasa, dan tidak terlepas dari partisipasi sosial. Maka, menilai pengetahuan setempat dari luar, tanpa memahami logikanya sendiri, adalah bentuk penindasan epistemik yang dilakukan bukan dengan kekerasan fisik, tetapi dengan bahasa validitas.

Pengetahuan setempat yang partisipatif dan intersubjektif tidak membutuhkan pembenaran dari luar. Berdiri karena bekerja, karena hidup, dan karena menciptakan makna dalam dunia yang dijalani bersama. Justru dalam keterlibatan dan kebersamaannya, pengetahuan ini mengajarkan bahwa kebenaran bukan milik yang jauh dan netral, tetapi tumbuh dari apa yang dekat, yang dialami dan yang dirawat bersama. Dan dalam dunia yang semakin kehilangan kedekatan, pengetahuan semacam ini bukan hanya sah, tetapi sangat dibutuhkan.

Z:

Dalam diskusi tentang sifat partisipatif dan intersubjektif pengetahuan setempat, perdebatan antara dua kutub epistemik telah berlangsung: di satu sisi, pengetahuan setempat menekankan kedalaman pengalaman kolektif, keterlibatan tubuh, dan jaringan relasi sosial sebagai dasar pengetahuan; di sisi lain, kritik dari paradigma ilmu pengetahuan modern mempertanyakan sahihnya klaim pengetahuan, yang dikatakannya akan sahih jika dapat diuji, diformulasikan secara proposisional, dan dikonfirmasi oleh siapa pun yang tidak ikut serta. Kedua pihak tampil dengan argumen yang tampaknya tak terjembatani. Di sinilah pandangan lain (di luar keduanya) dibutuhkan dan perlu, tentu bukan sebagai penengah yang berusaha “menggabungkan” keduanya secara sintetik, tetapi sebagai pembaca yang reflektif dan kritis, yang berusaha menangkap substansi masing-masing, membongkar kelemahan keduanya, dan apabila dimungkinkan dapat menyarankan arah berpikir yang lebih lentur dan produktif.

Dalam percakapan di atas, pengetahuan setempat menggarisbawahi bahwa dalam tradisi masyarakat tertentu, mengetahui bukanlah kegiatan intelektual yang terlepas dari dunia, tetapi tindakan hidup yang dialami bersama. Pengetahuan hadir dalam keterlibatan langsung, bukan dalam observasi netral; dalam tindakan dan tubuh, bukan dalam deskripsi proposisional. Apa yang disebut kebenaran bukan ditentukan oleh pemisahan antara subjek dan objek, tetapi oleh kehadiran dan partisipasi dalam dunia yang dibentuk bersama. Inilah argumen pokok: bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang terjadi dalam hubungan, dalam tindakan bersama, dan dalam kepercayaan yang terbangun dari pengalaman yang berulang. Karena itu, validitas bukan soal universalitas abstrak, tetapi soal kebertahanan dan keberfungsian dalam hidup nyata.

Sebaliknya, kritik dari ilmu pengetahuan modern terus mempertanyakan kerangka semacam itu. Dalam logika ilmu, pengetahuan adalah sistem proposisi yang dapat diuji, dikritik, dan disampaikan lintas konteks. Jika pengetahuan hanya bisa dipahami oleh mereka yang telah “mengalami”, maka bagaimana ia bisa dipertanggungjawabkan? Bagaimana cara membedakan antara pengetahuan dan kepercayaan, antara praktik yang efektif dan praktik yang hanya diwariskan karena tradisi? Sains modern menegaskan bahwa keterlibatan tidak bisa dijadikan syarat mutlak kebenaran, sebab keterlibatan bisa melanggengkan bias, mitos, dan kekuasaan informal. Sains mengembangkan metode justru untuk memisahkan pengetahuan dari keharusan partisipasi: agar kebenaran bisa diuji siapa pun, termasuk oleh mereka yang tidak ikut serta dalam dunia asalnya.

Jika melihat dari luar perspektif keduanya, maka mungkin akan tampak bahwa kedua posisi bukan hanya memiliki fondasi epistemologis yang kuat, tetapi juga (berpotensi) menyimpan kelemahan jika dipertahankan secara dogmatis. Argumen dari pengetahuan setempat mengungkapkan sesuatu yang sangat penting dan sering diabaikan oleh sains modern: bahwa semua pengetahuan, dalam bentuk awalnya, selalu lahir dari keterlibatan. Tak ada pengetahuan yang tidak berakar dalam dunia, tidak dijalani dalam tubuh, atau tidak dibentuk dalam hubungan sosial. Namun, kita dapat mengatakan bahwa jika pengetahuan setempat menutup diri dari segala bentuk artikulasi proposisional dan verifikasi dari luar, maka akan berisiko membatasi dirinya menjadi sistem yang hanya berbicara kepada dirinya sendiri. Kehilangan kapasitas untuk diajak berdialog, dipertanyakan, atau bahkan dibagikan kepada mereka yang belum mengalaminya.

Sebaliknya, dibaca lebih seksama, akan tampak bahwa kritik dari sains juga mengandung ilusi bahwa pengetahuan dapat dibersihkan dari partisipasi. Kita berpandangan bahwa sains sendiri pada dasarnya adalah sistem sosial — dibangun oleh komunitas, dijalankan dalam institusi, dan membutuhkan bentuk intersubjektivitas tertentu agar klaimnya diterima. Objektivitas dalam ilmu pengetahuan bukan berarti ketiadaan hubungan sosial, melainkan bentuk koordinasi antar subjek yang dilakukan dengan prosedur tertentu. Maka, ketika sains mengkritik pengetahuan setempat karena terlalu sosial, terasa bahwa sains tengah melupakan bahwa dirinya juga tergantung pada praktik sosial yang khas: peer review, konsensus ilmiah, dan etos keilmuan yang disepakati bersama.

Kita juga perlu mencatat dengan sebaik-baiknya, bahwa ada kemungkinan keduanya sebenarnya telah mengasumsikan bentuk “pengetahuan” yang terlalu sempit. Dalam sains, pengetahuan identik dengan proposisi yang bisa diuji; sementara pengetahuan setempat, pengetahuan adalah cara hidup. Tapi apakah keduanya tidak bisa dilihat sebagai bentuk dari proses epistemik yang berbeda, dengan tujuan yang berbeda pula? Sains mengarah pada generalisasi, pengendalian, dan prediksi; pengetahuan setempat mengarah pada keberlangsungan hidup, keterhubungan, dan makna. Keduanya bukan saling bertentangan, tetapi beroperasi dalam horizon praksis dan kebutuhan yang berlainan. Kritik yang satu terhadap yang lain akan selalu gagal jika keduanya dipaksa bermain dalam logika epistemik yang sama.

Maka, sebagai pihak di luar keduanya, kita dapat membuat usulan, namun bukanlah usulan hibridisasi dangkal, tetapi menggeser medan pertanyaan: alih-alih bertanya “pengetahuan siapa yang lebih sahih?”, kita perlu bertanya “dalam horizon praksis apa pengetahuan itu bekerja?” dan “dengan cara bagaimana pengetahuan itu menjawab kebutuhan dunia?” Dari sini, kita bisa melihat bahwa pengetahuan setempat yang partisipatif dan intersubjektif sah sebagai pengetahuan justru karena dimungkinkan dapat menjawab tantangan hidup yang tidak bisa diatasi oleh sistem representasi proposisional belaka. Sementara itu, sains sah karena ia menyediakan model pemahaman yang terstandar dan bisa dikembangkan dalam skala luas. Tapi keduanya bekerja dalam medan pengalaman yang berbeda, dan karena itu, tidak seharusnya menuntut satu sama lain tunduk pada syarat yang bukan miliknya.

Kita juga menyarankan bahwa dialog antara keduanya hanya bisa terjadi jika keduanya bersedia mencairkan batas-batas epistemik mereka sendiri. Pengetahuan setempat perlu menyadari bahwa intersubjektivitas bukan halangan untuk artikulasi yang terbuka, dan bahwa partisipasi tidak berarti menolak refleksi kritis. Sementara sains perlu mengakui bahwa tidak semua kebenaran harus hadir dalam bentuk proposisi, dan bahwa pengalaman yang dijalani bersama juga mengandung kedalaman epistemik yang tak terwakili oleh bahasa rumus atau grafik. Dalam medan ini, pengetahuan menjadi ruang keterbukaan, bukan monumen yang dibela mati-matian oleh pengikutnya.

Dengan demikian, refleksi kita atas saling kritik dalam pembahasan masalah ciri partisipasi dan intersubyektif, menunjukkan bahwa ketegangan epistemik bukanlah pertentangan antara benar dan salah, tetapi antara cara tahu yang melayani cara hidup yang berbeda. Pengetahuan partisipatif dan intersubjektif tidak lebih rendah dari pengetahuan proposisional dan terstandardisasi, hanya karena tidak bisa diuji di laboratorium. Sebaliknya, sains tidak kehilangan nilainya karena sanggup melepaskan diri dari pengalaman langsung. Yang diperlukan adalah kesediaan untuk saling mendengar dengan cara yang tak defensif, dan untuk menyadari bahwa setiap bentuk pengetahuan mengandung kekuatan sekaligus kebutuhannya sendiri. Dari sana, percakapan epistemik bisa menjadi sarana perjumpaan, bukan pertarungan. Suatu perjumpaan yang memperkaya cara kita hidup, memahami, dan merawat dunia bersama. [Desanomia – 3.5.25 – TM]

One thought on “Dialog (4)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *