sumber ilustrasi: unsplash
6 Mei 2025 06.00 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Pengantar – berikut ini adalah dialog lanjut antara X (yang dalam hal ini dianggap mewakili tradisi desa), Y (yang diandaikan boleh mewakili tradisi ilmu) dan Z (yang diandaikan bukan dari keduanya). Jika dalam edisi lalu [Dialog (5)], telah ditampilkan percakapan keempat, yakni tentang ciri berwujud – dalam hal ini dipahami sebagai “tidak hanya ide, tapi menjelma dalam tindakan dan tubuh”. Dalam makna ciri ini, pengetahuan diwujudkan dalam praktik hidup: menanam, merawat, berdoa. Berada dalam keterampilan, bukan hanya sebagai data.
Sampai sejauh ini, terdapat masalah yang tersembunyi, yang sebagiannya telah diungkapkan dalam pengantar pada Dialog (5), yakni keterbatasan Bahasa. Namun rupanya, ada masalah lain yang juga terungkap, yakni adanya kecenderungan penjelasan yang relatif sama, dan atau dipandang memuat pengulangan. Mengapa demikian? Hal ini tidak lepas dari optik yang digunakan. Sejak awal disadari bahwa kesepuluh ciri dari pengetahuan setempat, akan mendapatkan respon dari perspektif ilmu, yang didefinisikan dengan dua ciri pokok, yakni obyektif dan universal.
Keadaan tersebut tentu saja menimbulkan problem dalam proses pembahasan, yakni sepuluh (ciri, pengetahuan setempat) merespon dua (ciri, ilmu). Tidak terhindarkan ada potensi dilihat secara permukaan bahwa ketika kesepuluh ciri mengungkapkan masalah dari dua ciri, akan terdapat kesan seakan-akan yang dibahas adalah hal yang sama. Sementara itu, ketika dua ciri merespon kesepuluh ciri, juga tidak terhindarkan kesan kemiripan dalam respon dan bahkan mungkin dianggap sebagai sekedar mengulang.
Apakah mungkin menghindar dari keadaan tersebut? Tentu sangat sulit. Jika pun diupayakan untuk secara sangat “menjaga”, maka akan muncul persoalan baru, yakni bagaimana dengan pembaca yang kemungkinan tidak bisa membaca keseluruhan, atau hanya tertarik pada satu tema tertentu? Untuk mereka yang kebetulan tidak mengikuti dari awal, dan tidak secara berurutan membaca, maka ada kemungkinan akan kehilangan konteks. Sebaliknya, yang hanya membaca satu, juga akan mendapati uraian yang kurang eksploratif. Oleh sebab itulah, posisi yang hendak diambil dialog ini adalah tetap bertahan dengan format yang ada.
Apa yang dimaksud dengan bertahan dengan format yang ada, adalah tetap dilakukan pengungkapan masing-masing ciri, yang seakan-akan ciri tersebut berdiri sendiri, walaupun ciri tersebut adalah sebagian dari ciri yang lain (sepuluh ciri). Pun kritik yang diberikan tradisi ilmu, diberikan dalam format yang sama, terutama didasarkan pada ciri obyektivitas dan universalitas. Sebaliknya respon balik atas kritik, juga lebih mengarah kepada dua ciri utama tersebut. Adapun pihak ketiga, juga mengambil posisi yang sama, yakni berusaha netral, walaupun tidak terhindarkan kemungkinannya untuk berusaha memberikan pandangan tentang pentingnya suatu pertemuan.
Atas dasar itulah, percakapan dilanjutkan, dengan membahas ciri kelima, yakni naratif – yang dalam hal ini dimengerti sebagai ciri yang menggambarkan bahwa suatu kebenaran tidak dikatakan, tetapi dihayati dan diceritakan. Hadir dalam: Cerita, mitos, lagu, tarian, simbol dan bahasa kias. Bahasa bukan alat representasi, tapi media relasi dan pemaknaan. Kita akan eksplorasi apa yang akan disampaikan X, dan apa pula respon dari Y, setelahnya bagaimana respon Z. Semoga dapat dimengerti.
Beginilah percakapan umum atas masalah tersebut:
X:
Apa maknanya jika dikatakan bahwa pengetahuan setempat bersifat simbolik dan naratif. Yakni bahwa bentuk utama dari artikulasi pengetahuan dalam konteks setempat tidak hadir melalui sistem proposisional atau representasi formal yang tersusun dalam logika abstraksi, melainkan melalui simbol dan narasi. Keduanya merupakan medium epistemik yang khas, kompleks, dan sarat makna. Dalam tradisi setempat, pengetahuan tidak dikodifikasikan dalam definisi, rumus, atau skema universal, tetapi dijalin dalam kisah, dihadirkan melalui lambang, dan dihidupkan melalui peristiwa yang diceritakan ulang secara turun-temurun. Dengan kata lain, simbol dan narasi bukan sekadar alat retoris atau alat bantu penyampaian, tetapi merupakan struktur epistemik itu sendiri. Bentuk di mana kebenaran hadir, disampaikan, dan diakui keberlakuannya dalam komunitas.
Narasi dalam pengetahuan setempat bukan cerita dalam pengertian fiksi, tetapi merupakan struktur konseptual yang padat pengalaman, tempat nilai, orientasi, dan konsekuensi dipertautkan secara hidup. Narasi menautkan peristiwa dengan makna, menyusun waktu menjadi struktur yang dapat dipahami, dan mengaitkan manusia dengan kosmos melalui bahasa yang tidak tereduksi ke dalam pernyataan literal. Misalnya, kisah tentang asal-usul suatu gunung bukan hanya penjelasan topografis, tetapi mengandung orientasi etis, pengetahuan ekologis, dan pemahaman relasional antara manusia dan alam. Begitu pula cerita tentang leluhur atau hewan simbolik bukan sekadar bentuk hiburan budaya, tetapi cara suatu komunitas menyimpan dan menyalurkan wawasan ontologis, cara mengenali batas-batas tindakan, serta cara menginterpretasikan gejala-gejala dalam kehidupan bersama.
Simbol dalam pengetahuan setempat bekerja dalam cara yang serupa namun lebih padat. Mungkin dapat dikatakan seperti proses mengkondensasikan pengalaman kolektif, sejarah, dan nilai ke dalam bentuk yang dapat dialami bersama secara puitik dan praktis. Sebuah motif ukiran, misalnya, bukan hanya dekorasi, tetapi bisa menyimpan pengetahuan tentang kosmologi, sistem pertanian, hubungan sosial, dan batas-batas yang perlu dijaga dalam kehidupan. Simbol bersifat polisemik, yaitu terbuka terhadap berbagai penafsiran yang tidak saling meniadakan, melainkan memperkaya. Dengan kata lain, simbol menyimpan ketebalan makna yang tak bisa diringkas menjadi satu pernyataan tunggal, dan justru karena itu, akan mampu menjadi wadah dari keragaman pengalaman dan orientasi.
Struktur pengetahuan semacam ini menantang pemahaman modern tentang kebenaran yang terlalu mengandalkan bentuk proposisional. Dalam kerangka modern, pernyataan dianggap sahih jika dapat dipisahkan dari konteks, diuji melalui logika formal, dan dikonfirmasi secara netral. Namun narasi dan simbol bekerja secara sebaliknya: mereka menarik pengetahuan kembali ke konteks, menjaganya tetap dekat dengan dunia yang dijalani, dan menghadirkan kebenaran dalam bentuk yang puitik, ambigu, namun sangat terarah secara etis. Narasi tidak membuktikan, tetapi meyakinkan; simbol tidak menjelaskan, tetapi menghadirkan makna secara resonan. Oleh karena itu, pengetahuan setempat yang berbentuk simbolik dan naratif bukan bentuk “kurang dari ilmu”, melainkan struktur epistemik alternatif yang bekerja melalui kedalaman pengalaman dan keterikatan kolektif.
Narasi dan simbol juga memiliki fungsi korektif terhadap reduksionisme dalam sistem pengetahuan yang kini dianggap sebagai mainstream. Ketika dunia direpresentasikan secara terlalu rasional, terpisah-pisah, dan terlepas dari nilai, maka simbol dan narasi menyatukan kembali dimensi yang terpecah: antara fakta dan nilai, antara pengetahuan dan kebijaksanaan, antara observasi dan partisipasi. Sebuah kisah yang berulang tentang keseimbangan desa, misalnya, tidak hanya mentransmisikan pengetahuan ekologis tentang realitas desa, tetapi juga mengikat kesadaran komunitas terhadap tanggung jawab etis dalam menjaga tatanan itu. Di sinilah kekuatan epistemik narasi dan simbol tampak: bukan hanya memberi informasi, tetapi membentuk orientasi hidup dan horizon tindakan yang terhubung dengan dunia secara menyeluruh.
Narasi dan simbol juga memungkinkan pengetahuan untuk tetap hidup dalam bentuk yang fleksibel dan tahan terhadap perubahan. Alih-alih menjadikan pengetahuan sebagai kumpulan definisi tertutup, pengetahuan naratif memungkinkan elaborasi makna seiring berjalannya waktu. Kisah yang sama dapat ditafsirkan ulang sesuai konteks baru, tanpa kehilangan inti nilai dan orientasi yang dikandungnya. Dengan demikian, bentuk simbolik dan naratif justru memberi ruang bagi dinamika pemahaman dan keberlanjutan, tanpa mengorbankan kontinuitas dengan masa lalu.
Perlu terus diulang, agar tetap diingat bahwa suatu fleksibilitas ini tidak berarti relativisme. Dalam komunitas yang hidup dalam pengetahuan simbolik dan naratif, terdapat sistem internal yang ketat dalam hal siapa yang boleh menafsirkan, dalam konteks apa makna dibuka, dan bagaimana keseimbangan antara interpretasi dan kontinuitas dijaga. Pengetahuan tidak cair secara liar, tetapi ditopang oleh ritus, otoritas kultural, dan keterlibatan kolektif yang membentuk batas-batas tafsir. Maka, meskipun simbolik dan naratif, pengetahuan setempat tetap memiliki struktur normatif dan validasi yang koheren dalam kerangka komunitasnya.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa sifat simbolik dan naratif pengetahuan setempat tidak dapat dipahami sebagai bentuk yang “belum ilmiah” atau “pra-logis”, melainkan sebagai bentuk pengetahuan yang beroperasi dengan logika dan struktur epistemiknya sendiri. Sifat ini menunjukkan bahwa pengetahuan setempat tidak bekerja dengan rumus, tetapi dengan resonansi. Tidak mengklaim netralitas, tetapi mengakui keterlibatan. Tidak mengandaikan satu kebenaran tunggal, tetapi merawat pluralitas makna dalam keterarahan yang etis dan kosmologis.
Dalam dunia modern yang kerap kehilangan kedalaman makna dan relasi dengan dunia hidup, pengetahuan simbolik dan naratif seperti ini tidak hanya relevan, tetapi sangat mendesak untuk dipulihkan sebagai bentuk berpikir yang utuh, berakar, dan penuh hormat terhadap kehidupan. Maka pengetahuan setempat, dalam bentuk simbol dan narasi, bukan sisa masa lalu yang harus ditransformasikan menjadi teori, tetapi kekayaan epistemik yang menyimpan cara tahu yang lain—yang puitis, reflektif, dan membumi—dan karena itu, layak dihargai dalam martabat yang setara dengan pengetahuan konseptual formal.
Y:
Pertama-tama perlu ditegaskan bahwa klaim simbolik dan naratif telah menimbulkan persoalan epistemologis yang serius mengenai kejelasan makna, struktur penalaran, dan kapasitas verifikasi. Telah menjadi pemahaman umum bahwa di hadapan ilmu, suatu pengetahuan dinilai sah sejauh dapat dirumuskan secara eksplisit, ditransmisikan dengan presisi, serta diuji dan dikritisi melalui kerangka logis yang koheren dan terbuka terhadap evaluasi. Maka ketika pengetahuan dikatakan hadir dalam bentuk simbol dan narasi, ilmu akan mempersoalkan dengan kritis: di manakah letak struktur logisnya? Bagaimana klaim kebenarannya diuji? Dan sejauh mana dapat direplikasi atau dipahami lintas komunitas dan budaya? Memang persoalan ini terasa seperti hal yang terus diulang-ulang, dalam percakapan sebelumnya. Mengapa demikian? Karena di situlah pokok persoalannya.
Simbol, dalam kerangka epistemologi ilmiah, seringkali dianggap tidak cukup presisi. Terbuka terhadap interpretasi yang bervariasi, tidak memiliki satu makna tetap, dan tidak menawarkan kerangka penalaran yang eksplisit. Jika satu lambang bisa bermakna A bagi kelompok tertentu, tetapi B bagi kelompok lain, maka sains akan menilai bahwa simbol tidak mampu mendukung klaim kebenaran yang stabil dan dapat diverifikasi. Simbol mungkin efektif secara ekspresif atau kultural, tetapi tidak cukup kuat secara epistemik untuk menopang argumen yang ingin dikomunikasikan secara universal. Dalam logika ilmiah, pengetahuan memerlukan ketegasan makna, bukan kelenturan interpretasi.
Narasi, meskipun dapat menyampaikan pengalaman dan nilai, juga dinilai problematik karena kecenderungannya yang anekdotal, emosional, dan partikular. Ilmu mengedepankan bentuk argumen yang menghindari bias afektif dan subjektivitas yang tidak terkontrol. Narasi bekerja dengan kekuatan emosional, kedekatan kultural, dan konteks yang tebal. Hal-hal yang justru dikesampingkan oleh ilmu dalam upayanya mencari struktur umum yang berlaku melampaui konteks. Dengan kata lain, ilmu tidak menyangkal bahwa narasi bisa kaya secara eksistensial, tetapi ilmu tetap mempertanyakan apakah narasi dapat membentuk dasar dari klaim pengetahuan yang dapat diuji dan dikembangkan secara rasional.
Lebih dari itu, struktur narasi dan simbol dalam pengetahuan setempat tidak menyediakan sistem evaluasi yang terbuka terhadap kritik eksternal. Sebuah kisah leluhur yang dipercaya menyimpan pengetahuan ekologis tidak dapat begitu saja diuji oleh orang luar yang tidak hidup dalam komunitas tersebut. Bahkan, narasi itu mungkin dilindungi secara kultural, tidak boleh diubah, dan hanya boleh ditafsirkan oleh pihak tertentu. Bagi ilmu, hal ini menandakan tertutupnya medan epistemik, yang berlawanan dengan prinsip dasar keterbukaan, transparansi, dan keteraksesan lintas budaya dan individu.
Ilmu juga mempersoalkan bahwa simbol dan narasi tidak memiliki mekanisme kontrol terhadap inflasi makna. Karena simbol bersifat polisemik dan narasi dapat berkembang dengan fleksibel, maka ada potensi besar bagi pembelokan makna yang tidak dapat difilter secara rasional. Dalam sistem ilmiah, terdapat metode untuk mengontrol makna: definisi yang tegas, sistem klasifikasi, dan logika inferensial yang memungkinkan penelusuran ulang terhadap kesimpulan. Dalam pengetahuan simbolik dan naratif, tidak ada jaminan semacam itu. Siapa pun dapat mengklaim “pemaknaan baru” tanpa ada perangkat untuk menilai validitasnya. Hal ini dapat menyebabkan kerancuan epistemik yang mengaburkan batas antara pengetahuan dan opini, antara kebijaksanaan dan manipulasi simbolik.
Masalah berikutnya, sebagaimana ciri yang lain adalah terkait dengan transmisi dan replikasi pengetahuan simbolik-naratif. Dalam ilmu, kejelasan adalah dasar dari komunikasi. Pengetahuan dapat ditulis, diajarkan, diuji ulang, dan dikembangkan. Dalam pengetahuan yang terlalu bergantung pada simbol dan kisah, sains melihat hambatan besar dalam komunikasi lintas komunitas. Jika makna hanya dapat dipahami dalam konteks tertentu, maka tidak bisa menjadi bagian dari sistem pengetahuan global. Artinya, bentuk semacam ini sulit menjawab tantangan kolaborasi ilmiah global yang mengandaikan kesamaan bahasa epistemik dan prosedur evaluatif.
Ilmu juga menyangsikan klaim bahwa simbol dan narasi dapat berfungsi sebagai struktur epistemik utama, bukan sekadar alat bantu. Dalam sejarah pengetahuan ilmiah, narasi dan simbol memang digunakan—misalnya dalam ilustrasi konsep atau dalam metafora heuristik—namun selalu diperlakukan sebagai pintu masuk menuju struktur formal, bukan sebagai fondasi itu sendiri. Ilmu modern berkembang justru dengan usaha untuk menggantikan narasi dengan eksplanasi, dan simbol dengan notasi. Dalam fisika, teori lama walaupun telah menjadi narasi besar, akan dengan mudah digantikan dengan teori baru yang menjawab masalah yang tidak bisa dijawab dengan teori lama. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam ilmu, simbol dan kisah hanya bernilai sejauh mereka dapat dikristalkan dalam hukum, teori, atau model yang formal dan terbuka terhadap revisi.
Apa yang paling utama perlu menjadi bahan refleksi adalah terkait tentang batas epistemik dari bentuk simbolik-naratif itu sendiri. Jika simbol tidak dapat difalsifikasi dan narasi tidak dapat dikoreksi melalui logika publik, maka bagaimana menghindari bahwa pengetahuan semacam itu berubah menjadi dogma kultural? Bagaimana membedakan antara kisah yang benar-benar menyimpan pengetahuan ekologis, dan kisah yang hanya mempertahankan relasi kuasa? Dalam ilmu, semua klaim pengetahuan harus terbuka terhadap pertanyaan seperti itu. Dan jika pengetahuan simbolik-naratif tidak dapat menjawabnya, maka tidak dapat diakui dalam ruang rasionalitas terbuka.
Dengan demikian, bentuk simbolik dan naratif dalam pengetahuan setempat tentang menghadapi sejumlah tantangan epistemik serius: terlalu ambigu, terlalu terikat konteks, tidak bisa difalsifikasi, sulit dikomunikasikan secara presisi, dan rentan terhadap otoritas kultural yang menutup ruang kritik. Penting untuk disadari bersama bahwa ilmu tidak menolak bahwa bentuk-bentuk ini penting secara sosial dan kultural, tetapi akan menahan diri untuk menyebutnya sebagai “pengetahuan” dalam pengertian epistemologis yang ketat. Dalam pandangan ini, pengetahuan harus lebih dari sekadar makna yang dirasakan, tetapi juga harus dapat dipertanggungjawabkan secara rasional kepada siapa pun, di mana pun. Dan untuk itu, bentuk simbolik dan naratif, betapapun kayanya secara makna, tetap dinilai belum cukup sebagai fondasi epistemik dalam sistem ilmu pengetahuan.
X:
Kritik atas sifat simbolik dan naratif tampaknya berpijak pada satu keyakinan epistemologis yang telah lama mendominasi dunia: bahwa pengetahuan hanya sah jika dapat diekspresikan dalam bentuk proposisional, dijelaskan secara rasional, diuji melalui metode yang terstandarisasi, dan disampaikan dengan presisi lintas konteks. Kritik semacam ini menilai simbol sebagai terlalu ambigu, narasi sebagai terlalu emosional dan partikular, serta keduanya sebagai tidak memenuhi syarat verifikasi ilmiah. Namun justru dari posisi inilah tampak dengan jelas bagaimana ilmu sangat bias terhadap bentuk pengetahuan yang berciri objektif dan universal, dan karena itu secara sistematis mengalami kekuarang kapasitas dalam mengenali kedalaman epistemik dari cara tahu yang berakar pada simbol dan cerita.
Asumsi dasar kritik tersebut adalah bahwa pengetahuan harus dibersihkan dari ambiguitas makna, dipisahkan dari emosi dan konteks hidup, serta dilepaskan dari dimensi kultural dan afektifnya. Pengetahuan, dalam kerangka ini, dipahami sebagai rangkaian proposisi netral yang dapat diuji oleh siapa pun, di mana pun, tanpa harus memahami dunia tempat pengetahuan itu berasal. Namun pertanyaannya adalah: apakah bentuk pengetahuan seperti ini sungguh bebas nilai? Apakah keterlepasan dari konteks justru bukan bentuk penyempitan makna dan pemiskinan pengalaman? Pengetahuan setempat, dalam bentuk simbol dan narasi, mengajukan alternatif terhadap asumsi ini. Yang menyatakan bahwa kebenaran tidak selalu hadir sebagai proposisi yang netral, melainkan sebagai makna yang dialami, dihayati, dan diwariskan melalui bentuk-bentuk ekspresi yang kaya dan dalam.
Simbol tidak dapat direduksi menjadi satu makna bukan karena kabur, melainkan karena mengandung kedalaman pengalaman kolektif yang tidak dapat disederhanakan ke dalam satu pernyataan. Dalam pengetahuan setempat, sebuah simbol bekerja sebagai wadah dari kompleksitas: merangkum relasi sosio-ekologis setempat, nilai sosial, ritme waktu, dan horizon transenden dalam satu bentuk ekspresif. Justru karena itu, simbol membuka ruang untuk kontemplasi, bukan hanya representasi, dengan mengaktifkan kepekaan, bukan sekadar menyampaikan data. Kita hendak mengatakan bahwa obsesi presisi tunggal, akan gagal memahami bahwa dalam dunia yang hidup dan bergerak, makna justru menuntut kelenturan, bukan kepastian mutlak.
Begitu pula dengan narasi. Kritik sains terhadap narasi sebagai terlalu emosional atau anekdotal mengabaikan bahwa pengalaman manusia tidak pernah hadir secara steril. Narasi bukan penghalang bagi pengetahuan, tetapi struktur yang menyusun pengalaman dalam waktu, nilai, dan hubungan. Di dalam narasi, fakta bukan sekadar informasi, tetapi dijalin dalam konteks tindakan dan tanggung jawab. Kisah tentang bencana alam, misalnya, bukan hanya menceritakan peristiwa, tetapi juga menyampaikan pesan etis, menunjukkan pola ekologis, dan memperingatkan tentang batas-batas tindakan manusia. Dalam dunia yang sedang mengalami krisis makna dan disintegrasi sosial, bentuk naratif ini justru menjaga kesinambungan makna hidup dan orientasi terhadap dunia.
Kritik yang menyatakan bahwa simbol dan narasi tidak bisa diuji atau diverifikasi menunjukkan bahwa ilmu hanya mengakui satu bentuk pengujian: logis-empiris, terpisah dari subjek. Padahal dalam pengetahuan setempat, verifikasi tidak dilakukan melalui laboratorium, tetapi melalui resonansi pengalaman kolektif, melalui keberhasilan suatu pengetahuan dalam mempertahankan kehidupan, menjaga keseimbangan, dan membentuk tindakan yang bijak. Sebuah kisah yang hidup selama berabad-abad dalam suatu komunitas bukan bertahan karena irasionalitas, tetapi justru karena telah teruji oleh waktu dan oleh kehidupan. Maka, bentuk verifikasi dalam pengetahuan simbolik-naratif tidak hilang, melainkan beroperasi dalam dimensi yang tidak bisa dikurung oleh logika eksperimental.
Pernyataan bahwa narasi dan simbol tidak membuka ruang bagi kritik atau koreksi juga keliru membaca dinamika internal komunitas setempat. Pengetahuan simbolik tidak kaku, melainkan selalu terbuka terhadap interpretasi ulang dalam setiap generasi, namun dalam koridor nilai dan tanggung jawab kolektif. Tafsir dalam pengetahuan setempat bukan sembarangan, tetapi dilakukan melalui proses pembelajaran panjang, keterlibatan mendalam, dan pengakuan komunitas. Artinya, simbol dan narasi tidak bekerja tanpa kendali, tetapi dikawal oleh mekanisme sosial dan etis yang tidak kalah ketatnya dibanding metode ilmiah. Bedanya, kontrol epistemiknya tidak berupa instrumen teknis, melainkan jejaring relasional dan historis yang menjaga makna tetap hidup tanpa membekukannya.
Ketika ilmu menilai bahwa narasi dan simbol tidak dapat menjadi dasar pengetahuan karena tidak dapat dikomunikasikan secara universal, maka apa yang kerap dilupakannya sendiri adalah bahwa universalitas itu sendiri adalah konstruksi, bukan kodrat. Bahwa bahasa formal logika dan statistik bisa menjadi suatu lingua franca tidak berarti bahwa bentuk ekspresi lain tidak sah, melainkan bahwa sistem dominan telah menentukan siapa yang boleh berbicara dan dengan cara apa. Dalam dunia yang plural dan terdiferensiasi secara kultural, keberagaman bentuk artikulasi pengetahuan adalah kekayaan epistemik, bukan masalah. Simbol dan narasi justru memungkinkan penghormatan terhadap perbedaan sambil tetap menjaga makna yang mengikat komunitas pada dunia hidupnya.
Oleh sebab itulah, pernyataan yang menganggap bahwa hanya bentuk pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional kepada siapa pun di mana pun yang layak disebut “pengetahuan” menunjukkan kecenderungan marjinalisasi: bahwa satu cara tahu—yakni ilmu, dijadikan acuan untuk menilai semua cara tahu lainnya. Pengetahuan simbolik dan naratif tidak menolak rasionalitas, tetapi mengusulkan bentuk rasionalitas yang lain: rasionalitas yang tidak memisahkan fakta dari nilai, yang tidak menyingkirkan konteks dari struktur, dan yang tidak menghilangkan tubuh, emosi, dan sejarah dari ruang epistemik.
Dalam dunia yang sedang mencari kembali bentuk-bentuk pengetahuan yang etis, berakar, dan berdaya tanggap terhadap kompleksitas relasi kehidupan, bentuk simbolik dan naratif bukanlah bentuk yang usang, melainkan salah satu bentuk paling penting untuk merawat dunia yang tidak bisa seluruhnya direduksi ke dalam proposisi ilmiah. Oleh karena itu, pengetahuan setempat yang simbolik dan naratif tidak hanya layak dihormati sebagai sistem pengetahuan yang sah, tetapi juga perlu dihadirkan kembali dalam wacana pengetahuan kontemporer sebagai penawar terhadap kecenderungan arogansi dan penyempitan dunia menjadi hanya apa yang bisa dikalkulasi dan dijelaskan. Inilah cara tahu yang mungkin menyimpan kelembutan, kebijaksanaan, dan keintiman. Dengan kehati-hatian dan kerendahatian, hendak dikatakan tentang perlunya pengetahuan jenis itu. Mengapa? Mungkin karena jaman tengah kehilangan semua itu.
Z:
Terhadap percakapan di atas, kita tentu tidak bisa mengingkari, bahwa memang suatu ketegangan epistemik tengah berlangsung. Sebagaimana percakapan sebelumnya, sangat nampak adanya dua sisi, atau dua cara memahami dunia yang sangat berbeda. Di satu sisi, pengetahuan setempat menegaskan bahwa simbol dan narasi bukan hanya medium penyampaian pengetahuan, melainkan struktur epistemik itu sendiri. Pengetahuan hidup dalam kisah, dalam lambang, dalam bentuk-bentuk ekspresi yang diturunkan secara kolektif dan mengandung pengalaman yang tak terpisah dari dunia yang dijalani. Pada sisi yang lain, ilmu mempersoalkan apakah bentuk-bentuk simbolik dan naratif ini memenuhi syarat dasar pengetahuan dalam arti teknis: dapat diuji, dapat dikomunikasikan dengan presisi, dan dapat disusun dalam sistem argumen yang terbuka terhadap kritik universal. Apakah ada tempat di tengah-tengah atau di antara keduanya? Jika kita ada dalam posisi tersebut, apa sikap yang akan diambil? Apakah ikut salah satu, atau menawarkan suatu posisi lain, yang memungkinkan suatu refleksi? Posisi inilah yang hendak diambil, yang secara demikian, hendak membuka ruang dengan kejernihan refleksi, sehingga tidak terjebak dalam menilai mana siapa yang benar atau salah, tetapi berusaha mengeksplorasi secara jernih horizon epistemik masing-masing, titik temu yang mungkin, serta keterbatasan-keterbatasan yang tak bisa dihindari.
Dari posisi tersebut, dapat dikatakan bahwa pihak pertama, menyajikan simbol dan narasi sebagai cara hidup dalam pengetahuan. Bagi mereka, kisah bukan hanya medium afektif, melainkan cara menyimpan dan menyalurkan pengalaman kolektif yang kaya akan nilai, orientasi, dan kedalaman relasional. Simbol bukan hanya lambang estetis, tetapi medan makna yang menyatukan etika, ekologi, dan spiritualitas dalam satu struktur yang tak terpisahkan dari dunia yang dihidupi. Dalam kerangka ini, pengetahuan bukanlah akumulasi proposisi, tetapi jalinan makna yang mengarahkan tindakan dan membentuk horizon bersama. Keberlakuan pengetahuan tidak ditentukan oleh kemampuan generalisasinya, tetapi oleh daya resonansinya dalam hidup bersama.
Sebaliknya, pihak kedua menunjukkan kegelisahan terhadap bentuk pengetahuan yang dianggap terlalu fleksibel dalam makna, terlalu terikat pada konteks, dan tidak terbuka terhadap evaluasi lintas-komunitas. Narasi dan simbol, dalam pandangan mereka, tidak menyediakan mekanisme pembuktian, tidak menyusun argumen dalam bentuk eksplisit, dan terlalu mudah dimanipulasi oleh kekuasaan simbolik yang tidak transparan. Mereka menegaskan bahwa pengetahuan sejati harus bisa diuji oleh siapa pun, kapan pun, di luar ruang partikularitas sosial-budaya. Hanya dengan demikian, klaim pengetahuan bisa dipertanggungjawabkan dalam ruang rasionalitas terbuka.
Kedua argumen ini memiliki kekuatan masing-masing, tetapi keduanya juga menyimpan catatan-catatan penting yang dapat direfleksikan bersama. Suatu ruang refleksi tentu saja bukan hakim, melainkan sebagai pihak yang berusaha menangkap dimensi epistemologis yang lebih dalam dari perdebatan tersebut. Mungkin kita dapat melihat bahwa di balik klaim tentang simbol dan narasi, tersimpan satu pemahaman tentang pengetahuan sebagai bagian dari cara hidup. Sementara itu, di balik tuntutan ilmu akan proposisi dan verifikasi, ada upaya membebaskan pengetahuan dari keterbatasan subjektivitas dan partikularitas. Keduanya sah dalam kerangka masing-masing, tetapi menjadi persoalan tersendiri ketika digunakan untuk saling menilai dengan parameter yang tidak saling dapat ditranslasikan.
Jika boleh disebut sebagai kesalahan, maka kesalahan optik ilmu terletak pada kecenderungan untuk mengidentikkan kebenaran dengan keterpisahan dari dunia hidup. Mereka menganggap bahwa hanya ketika pengetahuan bisa dilepaskan dari konteks, maka menjadi universal. Tapi jika boleh, kita perlu mengungkapkan bahwa: universalitas tidak harus dicapai dengan mencabut pengetahuan dari akarnya. Ada bentuk universalitas lain—yakni universalitas resonansi, di mana pengetahuan setempat, meski terikat konteks, tetap bisa menyentuh dan dimaknai oleh yang lain karena mengandung dimensi pengalaman manusiawi yang mendalam. Kisah tentang hutan bukan hanya soal hutan tertentu, tetapi tentang relasi manusia dengan alam yang dapat dikenali lintas tempat.
Namun kita juga melihat bahwa pengetahuan setempat kerap kali bersandar terlalu kuat pada istilah “kekayaan makna”, tanpa cukup menyusun kerangka reflektif yang bisa menjelaskan bagaimana makna itu bekerja. Narasi dan simbol bisa mengandung kebijaksanaan, tetapi juga bisa membekukan pola pikir jika tidak disertai dengan mekanisme kritik internal. Di sinilah kita dapat menyarankan bahwa fleksibilitas simbolik dan naratif harus dibarengi dengan kedisiplinan hermeneutik, agar tidak tergelincir menjadi relativisme budaya yang anti-kritik. Bukan dengan mengubah bentuknya menjadi sistem logis, melainkan dengan membuka ruang bagi penjelasan internal, perbandingan simbolik lintas waktu, dan dialog tafsir antar generasi.
Dengan begitu, kita tidak mengusulkan penyeragaman bentuk epistemik, melainkan pluralisme epistemologis yang terarah. Dalam kerangka ini, simbol dan narasi bukan harus menjadi proposisi agar bisa disebut pengetahuan, tetapi perlu disadari sebagai bentuk epistemik dengan tata kerjanya sendiri, yang dapat dikaji, ditafsirkan, dan dikomunikasikan dengan cara yang sesuai dengan hakikatnya. Narasi tidak harus diuji melalui eksperimen, tetapi bisa diuji melalui resonansi kolektif dan daya transformasinya terhadap orientasi hidup. Simbol tidak perlu difalsifikasi, tetapi bisa dibaca dalam jaringan makna yang saling menguatkan, atau melemahkan, tergantung pada konteks sosial dan ekologisnya.
Saling kritik antara pengetahuan setempat dan ilmu dalam konteks simbolik dan naratif menunjukkan bahwa masing-masing membawa warisan epistemik yang sahih tetapi juga terbatas. Yang satu cenderung kehilangan kompleksitas hidup karena terlalu menuntut presisi; yang lain cenderung kehilangan ketajaman analitik karena terlalu bersandar pada kedalaman makna. Jalan ke depan bukan pada pemutusan, tetapi pada kemampuan untuk mendengarkan secara metodologis: mendengar bukan untuk menilai, tetapi untuk memahami dari dalam horizon yang lain. Pada titik inilah yang memandang pentingnya suatu ruang refleksi bersama, yang memungkinkan perjumpaan dengan kehangatan.
Pengetahuan simbolik dan naratif, jika dibiarkan berkembang dalam medan refleksi yang hidup, dapat memberi sumbangan besar bagi epistemologi masa kini. Hal ini mengingatkan kita bahwa mengetahui bukan hanya tentang benar dan salah, tetapi juga tentang cara berada dalam dunia, cara merawat makna, dan cara menghidupkan kembali keterhubungan yang telah terpecah oleh representasi rasional yang terlalu steril. Dan ilmu pun, jika bersedia melihat keterbatasannya sendiri, dapat mengambil manfaat dari simbol dan narasi sebagai pengingat bahwa pengetahuan bukan sekadar akumulasi informasi, tetapi bagian dari ziarah manusia mencari tempat dalam dunia yang kompleks dan penuh makna.
Maka dapat disimpulkan bahwa pertarungan antara simbolik-naratif dan proposisional-rasional bukanlah pertarungan epistemik yang harus dimenangkan oleh salah satu, tetapi perlu ditempatkan sebagai ruang dialog terbuka tentang bagaimana kita, sebagai manusia, memahami, mewariskan, dan bertindak di dalam dunia. Yang dibutuhkan bukan penyatuan bentuk, tetapi peningkatan kepekaan epistemologis: untuk tahu kapan berbicara dalam teori, kapan bercerita, dan kapan membiarkan simbol bekerja di kedalaman yang tak terucapkan namun tetap menuntun kita untuk hidup dengan lebih arif dan kepekaan dengan empati yang tinggi.
One thought on “Dialog (6)”