Sumber ilustrasi: unsplash
31 Mei 2025 14.30 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Apakah ruang publik kita mengkonsumsi pikiran yang menyehatkan akal budi? Mungkinkah publik membuat refleksi terhadap apa yang kini berlangsung? Tentu bukan untuk menimbulkan saling cela, melainkan untuk agar secara kolektif ada upaya bersama menyehatkannya. Karena hanya dengan kesehatan ruang publik, akan dimungkinkan perbaikan-perbaikan dengan arah yang konstruktif dan bermakna.
Pertanyaan dan pernyataan tersebut tidak lepas dari kenyataan adanya potensi dimana ruang publik dipenuhi dengan perdebatan yang pada intinya adalah pertarungan klaim kebenaran. Apa yang dimaksud adalah suatu peristiwa dimana perdebatan sebenarnya tidak dalam ruang dialog yang terbuka, melainkan dalam bentuk afirmasi yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Salah satu bentuk paling mencolok dari kecenderungan ini adalah keyakinan berlebihan pada kebenaran yang bersumber dari teknologi tinggi, data empiris, dan instrumen ilmiah. Dalam paradigma ini, kebenaran diasumsikan sebagai sesuatu yang telah sepenuhnya terobjektivikasi, bersih dari subjektivitas, dan oleh karenanya tidak memerlukan diskusi lebih lanjut. Namun, justru di sinilah letak paradoksnya: bahwa ilmu dan teknologi, yang pada dasarnya dikembangkan untuk menghindari absolutisme dan bias otoriter, malah dapat terjerumus dalam bentuk baru dari otoritarianisme epistemik.
Ilmu pengetahuan modern sejak awal dibangun dengan semangat untuk mengatasi dogma dan prasangka. Ia berakar pada prinsip falsifiabilitas, keterbukaan terhadap koreksi, dan pengujian terbuka. Namun, ketika hasil-hasil ilmiah atau teknologi dijadikan sebagai landasan otoritas final dalam diskursus publik, dan ketika suara-suara kritis dituduh sebagai irasional atau anti-sains tanpa ruang untuk nuansa atau keraguan, maka proses ilmiah itu sendiri dikompromikan. Klaim kebenaran yang lahir dari “kecanggihan peralatan” berubah menjadi simbol dominasi, bukan sebagai ajakan untuk berpikir bersama.
Masalah muncul ketika kebenaran diklaim hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki akses terhadap laboratorium, algoritma, atau jaringan analisis tertentu. Maka lahirlah bentuk baru dari elitisasi pengetahuan, di mana akses terhadap “kebenaran” menjadi hak istimewa yang menutup pintu partisipasi kolektif. Dalam kerangka ini, publik tidak lagi diajak berdialog, tetapi hanya disuruh menerima. Hal ini menciptakan jurang epistemik antara mereka yang memiliki otoritas teknologis dan mereka yang tidak. Akibatnya, relasi antara pengetahuan dan kekuasaan menjadi semakin tak terpisahkan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa subjektivitas, yang sering kali dikritik dalam tradisi ilmiah sebagai sumber bias, justru dapat kembali dalam bentuk yang lebih terselubung, yakni subjektivitas institusional atau struktural yang hadir melalui mekanisme keilmuan itu sendiri. Ketika institusi-institusi keilmuan tidak mau membuka diri terhadap kritik publik, atau ketika data digunakan tanpa transparansi metode, maka ilmu menjadi instrumen otoritas, bukan pencarian bersama akan kebenaran.
Bahaya terbesar dari keadaan ini adalah munculnya jiwa otoriter dalam ruang publik yang seolah-olah didasarkan pada objektivitas. Ketika kritik disingkirkan dengan dalih bahwa sains sudah berbicara, dan ketika narasi alternatif dipinggirkan karena dianggap tidak kompatibel dengan standar teknologis tertentu, maka ilmu kehilangan jiwanya sebagai proses yang terus-menerus mencari, bukan sebagai doktrin yang menetap.
Penting untuk diingat bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi bukanlah entitas yang bebas nilai. Telah menjadi kesadaran umum bahwa ia dibentuk oleh konteks sosial, dilekati oleh kepentingan ekonomi dan politik, serta dijalankan oleh subjek-subjek yang tidak lepas dari ideologi. Karena itu, mengklaim objektivitas mutlak tanpa membuka ruang interpretasi dan evaluasi kritis adalah bentuk baru dari eksklusi epistemik.
Untuk menjaga ruang publik yang sehat, dibutuhkan komitmen untuk terus mempertanyakan, bahkan terhadap kebenaran yang tampak paling kokoh sekalipun. Bukan untuk menyangkal hasil-hasil keilmuan, tetapi untuk memastikan bahwa kebenaran tidak berubah menjadi kekuasaan yang anti-dialog. Demokratisasi pengetahuan menuntut bahwa semua klaim, termasuk yang paling ilmiah, harus tetap bisa diajukan, diuji, dan dipertanyakan secara terbuka.
Dengan demikian, perdebatan publik tidak boleh tunduk pada aura ketakutan terhadap jargon teknis atau angka-angka statistik. Sebaliknya, ia harus menjadi ruang di mana kompleksitas diakui, di mana keraguan diberi tempat, dan di mana kebenaran tumbuh bukan dari pemaksaan, tetapi dari perjumpaan yang jujur dan reflektif antara berbagai pandangan. [Desanomia – 31.5.25 – TM]