Tentang Kemerdekaan (3)

Sumber ilustrasi: Freepik

13 Oktober 2025 09.15 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Catatan redaksi: Bagian ketiga dari naskah “Tentang Kemerdekaan”, datang sangat terlambat. Naskah pertama (1), pada 1 Agustus 2025, naskah kedua (2) pada 2 Agustus 2025, dan kini adalah naskah ketiga (3). Keterlambatan disebabkan karena ada problem dalam kesiapan naskahnya. Bukan hanya teknis namun juga substantif. Oleh sebab itu, dimintakan maaf atas keterlambatannya. Namun semoga, kemunculannya yang tidak lagi di bulan kemerdekaan, yakni di bulan Oktober, akan tetap dapat menangkap jiwa kemerdekaan dan sekaligus juga jiwa dari sumpah pemuda/i, 28 Oktober. (red)

Pada bagian ini kita akan meninjau makna kemerdekaan merujuk pada pandangan Ir. Soekarno, sebagaimana yang muncul dalam tiga naskah utama, yakni: Pertama, naskah “Indonesia Menggugat”, yang merupakan nota pembelaan yang disampaikan Ir. Soekarno persidangan di Landraad, Bandung pada tahun 1930. Kedua, naskah “Mencapai Indonesia Merdeka” (1933). Dan ketiga, naskah “Pidato 1 Juni 1945”, yang kemudian dikenal sebagai naskah “Lahirnya Pancasila”, yang disampaikan pada persidangan BPUPK pada 1 Juni 1945. Yang dimaksudkan di sini tentu bukan suatu tinjauan menyeluruh terhadap masing-masing naskah, melainkan akan hanya “mengambil” pandangan tentang kemerdekaan, dan kemudian dicari cara untuk mendapatkan apa yang tersurat maupun yang tersirat. Berikut ini kutipan panjang dari masing-masing naskah:

I. Indonesia Menggugat (1930)

“… buat suatu rakyat jajahan, buat suatu rakyat yang di bawah imperialisme bangsa lain, hakikat perkara sepanjang keyakinan kami, tidaklah lain. Buat suatu rakyat yang dibencanai oleh imperialisme, buat usaha rakyat itu melawan bencana imperialisme itu, perlu sekali pula “kekuasaan politik” dicapainya. …

Dan apakah artinya “kekuasaan politik” bagi suatu rakyat jajahan? Apakah artinya “kekuasaan pemerintahan”, apakah artinya “mengambil kekuasaan pemerintahan” bagi suatu rakyat jajahan? Mencapai Kekuasaan politik bagi suatu rakyat jajahan adalah berarti mencapai pemerintahan nasional, mencapai kemerdekaan nasional, — mencapai mencapai hak untuk mengadakan undang-undang sendiri, mengadakan aturan-aturan sendiri, mengadakan pemerintahan sendiri!

…, bahwa mengejar kekuasaan politik, jadi, mengejar kemerdekaan nasional itu, adalah konsekuensi dan voorwaarde, buntut dan syarat, bagi suatu perjuangan kontra imperialisme itu adanya.

…, maka hampir tiap aturan yang penting di dalam suatu negeri jajahan bersifat menguntungkan kepentingan kaum imperialisme itu, sesuai dengan kepentingan kaum imperialisme itu. Hampir tiap-tiap aturan yang penting di dalam suatu negeri jajahan adalah bersifat untuk penjajahan itu, untuk imperialisme itu. Oleh sebab itu, maka, selama suatu negeri masih bersifat jajahan, ya, lebih jauh lagi: selama suatu negeri masih bersifat “protektorat” ataupun “daerah mandat”, — pendek kata selama suatu negeri masih belum sama sekali leluasa mengadakan aturan-aturan rumah tangga sendiri, — maka sebagian atau semua aturan-aturan rumah tangganya, mempunyai “cap” yang imperialistis adanya. Artinya: selama rakyat belum mencapai kekuasaan politik atas negeri sendiri, maka sebagian atau semua syarat-syarat hidupnya, baik ekonomi maupun sosial maupun politik, diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan yang bukan kepentingannya, bahkan bertentangan dengan kepentingannya. Ia adalah seolah-olah terikat kaki dan tangannya, tak bisa leluasa berjuang melawan daya-daya imperialisme yang membencanainya, tak bisa leluasa berjuang mengalang-alangi syarat-syarat hidupnya diperuntukkan bagi kepentingan pihak lain, tak bisa leluasa berusaha memperuntukkan syarat-syarat hidupnya itu bagi perikehidupan ekonominya sendiri, perikehidupan kebudayaannya. Ia pendek kata, tak bisa leluasa berusaha melawan dan memberhentikan imperialisme, tak bisa pula leluasa menyubur-nyuburkan badan sendiri.

…, tidak ada satu rakyat negeri jajahan yang tindak ingin merdeka, tidak ada satu rakyat jajahan yang tak mengharap-harapkan datangnya hari kebebasan. Jikalau Partai Nasional Indonesia mendengung-dengungkan semboyan “mencapai kekuasaan politik” itu, jikalau Partai Nasional Indonesia mengobar-ngobarkan semangat ingin merdeka itu, maka ia hanyalah mengemukakan cita-cita umum belaka. Kemerdekaan adalah syarat yang amat penting baginya untuk bisa melawan dan memberhentikan imperialisme itu dengan seluas-luasnya. Kemerdekaan adalah pula syarat yang amat penting bagi pembaikan kembali segala susunan pergaulan hidup suatu negeri bekas jajahan, suatu syarat yang amat penting bagi rekonstruksi nasionalnya.”

II. Mencapai Indonesia Merdeka (1933)

Kita bergerak karena kita tidak sudi kepada stelsel kapitalisme dan imperial­isme, yang membikin kita papa dan membikin segundukan manusia teng­gelam dalam kekayaan dan harta, dan karena kita ingin sama-rata merasakan lezatnya buah-buah dari kita punya masyarakat sendiri. Kita, oleh karenanya, harus bergerak untuk menggugurkan stelsel kapitalisme dan imperialisme! Dansyarat yang pertama untuk menggugurkan stelsel kapitalisme dan imperialisme? Syarat yang pertama ialah: kita harus m e r d e k a. Kita harus merdeka agar supaya kita bisa leluasa bercancut-taliwanda menggugurkan stelsel kapitalisme dan imperialisme. Kita harus mer­deka, agar supaya kita bisa leluasa mendirikan suatu masyarakat baru yang tiada kapitalisme dan imperialisme.

….

Oleh karena itu, maka kemerdekaan adalah s y a r a t yang maha penting untuk menghilangkan kapitalisme dan imperialisme, s y a r a t yang penting untuk mendirikan masyarakat yang sempurna. Gedung Indonesia Sempurna, di mana semua Rakyat-jelata bisa bernaung dan menyimpan dan memakan segala buah-buah kerezekian dan kekulturan sendiri, di mana tidak ada kepapa-sengsaraan pada satu fihak dan kerajaberadaan pada lain fihak, Gedung Indonesia Sempurna itu hanyalah bisa didirikan di atas buminya Indonesia yang Merdeka. Gedung Indonesia Sempurna itu hanya­lah bisa didirikan jikalau pandemen-pandemennya tertanam di dalam tanahnya Indonesia yang Merdeka.

Tetapi, … Gedung Indonesia Sempurna itu juga hanyalah bisa didirikan oleh Marhaen Indonesia, bilamana Marhaen adalah leluasa mendirikannya, – tidak terikat oleh ini, tidak terikat oleh itu, – yakni bilamana Marhaen, dan tidak fihak lain, mempunyai kemerdekaan gerak-bangkit yang tak terhalang-halang. Oleh karena itu, maka Marhaen tidak sahaja harus mengikhtiarkan Indonesia Merdeka, tidak sahaja harus mengikhtiarkan kemerdekaan-nasional, t e t a p i juga h a r us menjaga yang di dalam kemerdekaan-nasional itu kaum Marhaenlah yang memegang kekuasaan,- dan bukan kaum burjuis Indonesia, bukan kaum ningrat Indonesia, bukan kaum musuh-Marhaen bangsa Indonesia yang lain-lain. Kaum Marhaen­lah yang di dalam Indonesia Merdeka itu harus memegang teguh-teguh politieke macht, jangan sampai bisa direbut oleh lain-lain golongan bangsa Indonesia yang musuh kaum Marhaen.

….

…, bahwa pertama tujuannya pergerakan Marhaen haruslah suatu masyarakat zonder kapitalisme dan imperialisme, bahwa kedua jembatan ke arah masyarakat itu adalah kemerde­kaan negeri Indonesia, bahwa k e t i g a Marhaen harus menjaga, yang di dalam Indonesia Merdeka itu Marhaen lah yang menggenggam politieke macht, menggeng­gam kekuasaan pemerintahan. Inilah bentukan-bentukan dari kita punya pergerakan, yang harus sangat kita perhatikan.

III. Pidato 1 Juni 1945 [Lahirnya Pancasila] (1945)

Merdéka buat saja ialah: “political independence”, politieke onafhankelijkheid. Apakah jang dinamakan politieke onafhankelijkheid?

Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang sadja saja berkata: Tatkala Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saja, didalam hati saja banjak chawatir, kalaukalau banjak anggota jang saja katakan didalam Bahasa asing, maafkan perkataan ini „zwaarwichtig” akan perkara jang ketjil-ketjil. „Zwaarwichtig” sampai kata orang Djawa „djelimet”. Djikalau sudah membitjarakan hal jang ketjil-ketiil sampai djelimet, barulah meréka berani menjatakan kemerdékaan.

Djikalau kita berkata: Sebelum Negara merdéka, maka harus lebih dahulu ini selesai, itu selesai, itu selesai, sampai djelimet!, maka saja bertanja kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdéka, padahal dari rakjatnja terdiri dari kaum Badui, jang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu.

….

Maaf, P.T. Zimukyokutyoo! Berdirilah saja punja bulu, kalau saja membatja tuan punja surat, jang minta kepada kita supaja dirantjangkan sampai djelimet hal ini dan itu dahulu semuanja! Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai djelimet, maka saja tidak akan mengalami Indonésia Merdéka, tuan tidak akan mengalami Indonésia Merdéka, kita tidak akan mengalami Indonésia Merdéka, — dilobang kubur!

Saudara-saudara! Apakah jang’dinamakan merdéka? Didalam tahun ‘33 saja telah menulis satu risalah. Risalah jang bernama „Mentjapai Indonésia Merdéka”. Maka didalam risalah tahun ‘33 itu, telah saja katakan, bahwa kemerdékaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, ta’lain dan ta’bukan, ialah satu djembatan, satu djembatan emas. Saja katakan didalam kitab itu, bahwa diseberangnja djembatan itulah kita sempurnakan kita punja masjarakat.

Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakjat, jang mengetahui sedjarah, mendjadi zwaarwichtig, mendjadi gentar, padahal sembojan Indonesia Merdeka bukan sekarang sadja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun jang lalu, kita telah menjiarkan sembojan Indonesia Merdeka, bahkan sedjak tahun 1932 dengan njatanjata kita mempunyai sembojan “INDONESIA MERDEKA SEKARANG”. Bahkan 3 kali sekarang, jaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang, sekarang! Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menjusun Indonesia Merdeka. — kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar hati! Saudara-saudara, saja peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke onafhankelijkheid tidak lain dan tidak bukan ialah satu djembatan! Djangan gentar! Djikalau umpamanja kita pada saat sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang jang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo diganti dengan orang jang bernama Abdul Halim. Djikalau umpamanja Butyoo-Butyoo diganti dengan orang-orang Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnja kita telah mendapat political independence, politieke onafhankelijkheid, — in one night, didalam satu malam!

Saudara-saudara, pemuda-pemuda jang 2 miljun, semuanja bersembojan: Indonesia Merdeka, sekarang! Djikalau umpamanja Balatentara Dai Nippon sekarang menjerahkan urusan negara kepada saudara-saudara,apakah saudara-saudara akan menolak serta berkata: mangke rumijin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia Merdeka?

Saudara-saudara, kalau umpamanja pada saat sekarang ini Balatentara Dai Nippon menjerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menitpun kita tidak akan menolak, sekarangpun kita menerima urusan itu, sekarangpun kita mulai dengan Indonesia jang Merdeka!

Saudara-saudara! Sebagai djuga salah seorang pembitjara berkata: kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banjak penjakit malaria, banjak dysentrie. Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka”. Saja berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka.

Didalam Indonesia Merdeka itulah kita menjehatkan rakjat kita walaupun tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masjarakat kita untuk menghilangkan penjatkit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Didalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya mendjai kuat, didalam Indoensia Merdeka kita menjehatkan rakjat sebaik-baiknja. Inilah maksud saja dengan perkataan ,,djembatan”. Diseberang djembatan, djembatan emas, inilah, baru kita leluasa menjusun masjarakat Indonesia Merdeka jang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.

Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat jang maha penting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembitjara, bahwa sebenarnja internationaalrecht, hukum internasional, menggampangkan pekerdjaan kita? Untuk menjusun, mengadakan, mengakui satu negara jang merdeka, tidak diadakan sjarat jang neko-neko, jang mendjelimet, tidak! Sjaratnja sekedar bumi, rakjat, pemerintah jang teguh. Ini sudah tjukup untuk Internationaalrecht. Tjukup, saudara-saudara. Asal ada buminja, ada rakjatnja, ada pemerintahannja, kemudian diakui oleh salah satu negara jang lain, jang merdeka, inilah jang sudah bernama: merdeka. Tidak perduli rakjat dapat batja atau tidak, tidak perduli rakjat hebat ekonominja atau tidak, tidak perduli rakjatnja ada buminja da nada pemerintahannja, — sudahlah ia Merdeka.

Catatan: (1) kutipan diambil, dalam bentuk kutipan panjang, dengan maksud agar pikiran yang lebih tentang hal yang dibahas, dapat menjadi lebih jelas; (2) tidak terhindarkan bahwa kutipan tersebut telah merupakan suatu bentuk interpretasi atas keseluruhan teks, sedemikian sehingga diambil bagian yang dipandang berkesuaian dan atau memberikan pengertian yang diharapkan atas masalah yang sedang dibahas, yakni tentang kemerdekaan; dan (3) pilihan naskah yang kesemunya adalah naskah sebelum kemerdekaan, tentu merupakan bagian lain, dimana kemerdekaan menjadi suatu konsepsi, yang tidak saja sebagai suatu “lukisan masa depan”, akan tetapi dapat menjadi sikap politik, strategi atau suatu peta jalan. Secara demikian, kesemua teks, dalam batas-batas tertentu, dapat dipahami sebagai suatu teks politik, yang dengan demikian, dalam membaca teks tersebut, tidak terhindarkan kebutuhan untuk melihat teks tidak dengan cara yang eksklusif, melainkan suatu cara membaca yang tetap menempatkan teks dalam kancah makna, baik yang bersifat tetap, ataupun yang tengah menjadi perjuangan.

Tiga Naskah

Sebelum masuk ke dalam pembacaan yang lebih jauh terhadap tiga kutipan di atas, ada baiknya kita berupaya untuk berkenalan lebih dekat dengan ketiganya. Hal ini penting, agar diperoleh suatu “ruang makna” dimana masing-masing naskah lahir, dan memperoleh makna ketika itu. Tentu saja langkah ini bukan suatu ambisi ingin mendapatkan makna sebagaimana ketika makna itu muncul, atau ikut mendapatkan makna persis sebagaimana maksudnya, akan lebih sebagai upaya untuk agar kita memperoleh kedekatan makna, sehingga ketika kita membaca dalam “ruang makna” kekinian, akan diperoleh suatu makna yang sangat mungkin merupakan hasil dialog antara dua “ruang makna” yang berbeda. Kita sangat memahami, jika ketika itu, “ruang makna” memuat pula “siasat” dalam menghadapi kekuatan penjajah, yang sedemikian rupa sehingga ada kemungkinan makna sebenarnya “disembunyikan” di balik teks atau simbol-simbol tertentu. Hal itu bagian dari langkah strategis, agar usia perjuangan tetap panjang hingga tiba pada tujuan. Sebaliknya, “ruang makna” kekinian, akan mudah dipahami jika lebih kaya memuat harapan, dan dimana harapan tersebut merupakan “ketegangan” antara apa yang ideal dan apa yang sungguh-sungguh terjadi. Hal ini mudah menjelaskan mengapa dalam melihat teks yang lampau, lebih bersifat “ideal” dan karena itu, kenyataan hari ini, akan mudah pula dilihat sebagai bentuk “penyimpangan” atau ketidaksetiaan pada idealitas yang telah ditetapkan di masa yang lalu. Dalam situasi yang demikian inilah, kita akan berusaha membaca teks dimaksud.

Pertama, Indonesia Menggugat. Bagi mereka yang telah terbiasa dengan teks perjuangan, tentu akan mudah memahami bahwa “Indonesia Menggugat”, merupakan naskah yang telah mempunyai tempat tersendiri, dengan suasana “penghayatan” yang juga tersendiri. Jika kita menyebut tersendiri, maksudnya bukan bahwa naskah tersebut berada di luar, akan tetapi naskah tersebut telah membentuk ruang makna tersendiri dalam sejarah nasional. Naskah tersebut lahir dari “ruang persidangan”, dimana hukum penjajah mengadili yang dijajah. Bung Hatta mengatakan: hukum dalam masyarakat kolonial bukan apa-apa selain kekuasaan yang berwenang. Artinya, naskah tersebut pada dirinya adalah manifestasi dari perlawanan. Yang secara demikian, naskah tersebut: (a) sepenuhnya menyadari bahwa yang sedang dihadapinya bukan peristiwa hukum, melainkan peristiwa politik. Ir. Soekarno menegaskan: “Tak usah kami uraikan lagi, bahwa proses ini adalah proses politik: ia, oleh karenanya, didalam pemeriksaannya, tidak boleh dipisahkan dari soal-soal politik yang menjadi sifat dan azas pergerakan kami, dan yang menjadi nyawa fikiran-fikiran dan tindakan-tindakan kami … “; (b) mengambil kesempatan untuk menempatkan dirinya sebagai sikap politik, yakni suatu sikap tentang keadaan yang dihadapi rakyat dan sekaligus sikap atas apa yang seharusnya dilakukan dalam menghadapi keadaan tersebut. Pengadilan merupakan “ruang politik” yang harus digunakan secara baik dan bermakna.

Dengan optik tersebut, dapat dikatakan bahwa Indonesia Menggugat, pada dasarnya ingin menunjukkan sikap bangsa atas penjajahan. Ir. Soekarno menempatkan problem yang muncul bukan sebagai problem personalnya, melainkan problem bangsa dan khususnya problem dari pergerakan, atau dalam hal ini adalah problem partai. Oleh sebab itulah, yang disorong ke depan oleh Indonesia Menggugat, setidak-tidaknya ada tiga pokok pandangan dasar, yakni: Satu, bahwa rakyat dalam masalah struktural, yakni struktur sosial-ekonomi tidak adil. Dengan sangat jelas, Indonesia Menggugat menyajikan skema dan data bagaimana kinerja dari struktur, sedemikian rupa sehingga rakyat, bukan saja tidak mampu menggunakan sumberdaya yang dimilikinya, melainkan juga harus hidup menderita dan papa. Dua, bahwa dengan demikian segala tindakan rakyat untuk bebas dari struktur tersebut merupakan hal yang sah dan dibenarkan, karena demikian itulah hakekat manusia yang bebas dan melawan jika ditindas. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, namun dapat dimengerti bahwa Indonesia Menggugat, mendasarkan diri pada suatu pandangan dimana manusia (dan bangsa) pada dasarnya adalah Merdeka, dengan demikian adalah haknya untuk merespon segala tindakan yang membuatnya tidak Merdeka. Secara demikian, perlawanan rakyat atas penjajahan merupakan tindakan sah dan dapat dibenarkan. Tiga, bahwa untuk agar rakyat bisa mengatasi struktur maka dibutuhkan kemerdekaan atau bahwa rakyat mencapai kekuasaan politik, sedemikian sehingga rakyat dalam kapasitas untuk mengatasi struktur dan mengubahnya; dan empat, bahwa untuk agar struktur tidak kembali menjadi masalah bagi rakyat, maka rakyatlah yang pegang kendali penuh atas kekuasaan politik: “selama rakyat belum mencapai kekuasaan politik atas negeri sendiri, maka sebagian atau semua syarat-syarat hidupnya, baik ekonomi maupun sosial maupun politik, diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan yang bukan kepentingannya, bahkan bertentangan dengan kepentingannya.”

Kedua, Mencapai Indonesia Merdeka (MIM). Jika “Indonesia Menggugat”, merupakan sikap terhadap penguasa penjajahan, maka MIM dapat dikatakan sebagai pedoman untuk kerja-kerja politik untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Artinya, naskah tersebut seperti sedang berbicara dengan para penggerak atau mereka yang bekerja di tengah rakyat. Ada tiga hal pokok yang disajikan, yakni: (1) suatu “diagnosis” kritis atas kondisi dasar bangsa yang belum merdeka. Ketidakmerdekaan tidak dipahami sebagai ketiadaan status politik semata, tetapi sebagai akibat dari relasi kekuasaan yang timpang, warisan kolonialisme yang tetap hidup dalam bentuk imperialisme modern; (2) suatu visi ke depan, Indonesia yang sungguh-sungguh merdeka. Kemerdekaan di sini bukan tujuan akhir yang bersifat statis, melainkan suatu jembatan menuju tatanan sosial baru yang adil dan demokratis. “Jembatan emas” menjadi simbol bahwa perjuangan belum berakhir setelah kemerdekaan formal dicapai; yang lebih penting adalah memastikan agar rakyat benar-benar berdaulat atas kehidupan sosial, ekonomi, dan politiknya; dan (3) suatu langkah perjuangan, yakni bahwa pembentukan kekuasaan rakyat tidak akan terjadi tanpa organisasi politik yang menjadi wadah kesadaran dan strategi kolektif. Di sinilah pentingnya partai sebagai alat perjuangan dan pengorganisiran massa. Kesadaran akan arah perjuangan menjadi sangat penting, sebab tanpa orientasi bersama, gerakan rakyat akan tercerai-berai dan mudah dikendalikan oleh kepentingan status quo. Oleh karena itu, teks ini menekankan pentingnya machtsvorming—pembentukan kekuasaan oleh rakyat sendiri melalui massa-aksi yang sadar dan terorganisasi. Radikalisme tidak dipahami sebagai ekstremisme, tetapi sebagai upaya menyentuh akar masalah dan mengubahnya secara struktural.

Ketiga, Pidato 1 Juni 1945 (Lahirnya Pancasila). Jika “Indonesia Menggugat” berbicara kepada penguasa, “MIM” berhadapan dengan rakyat dan para penggerak, maka “Pidato 1 Juni 1945” berbicara dihadapan sidang persiapan kemerdekaan (persidangan BPUPK). Apa yang mungkin jarang mendapatkan perhatian adalah bahwa pembahasan tentang dasar negara, dimulai dengan pembahasan atau penjelasan tentang apa itu kemerdekaan. Ir. Soekarno mengatakan, “Paduka tuan Ketua jang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saja membitjarakan, memberitahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah jang saya artikan dengan perkataan „merdéka”. Apa artinya? Dalam hal ini mungkin dapat dibaca bahwa pembicaraan mengenai dasar negara, akan kehilangan maknanya jika belum ada negara merdeka yang akan menjadikannya dasar. Oleh karena itu, hal tentang kemerdekaan harus jelas dan sederhana, dan tidak perlu diperumit dengan berbagai syarat sosial maupun teknis, yang dapat menunda Merdeka, dan dalam hal ini berdirinya negara. Kemerdekaan bukanlah sekadar status simbolik, melainkan realisasi konkret dari berdirinya negara merdeka, yang secara prinsipil bisa dibentuk dalam waktu singkat, bahkan hanya dalam satu malam, asalkan syarat minimal—rakyat, wilayah, dan pemerintahan—telah terpenuhi. Pada intinya, kemerdekaan bukanlah kesiapan sosial atau administratif, melainkan pengambilan keputusan politik yang tegas untuk membentuk negara sendiri sebagai wadah perjuangan bangsa dalam mewujudkan apa yang diinginkannya. [desanomia – 131025 – dja] (bersambung).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *