Sumber ilustrasi: pixabay
8 Juni 2025 11.40 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [08.6.2025] Para ilmuwan kini bisa mendeteksi potensi letusan gunung berapi melalui satelit dengan melihat seberapa hijau pohon-pohon di sekitarnya. Studi terbaru menunjukkan bahwa pepohonan yang terlihat semakin hijau dari angkasa bisa menjadi tanda awal letusan yang akan datang.
Selama ini, perubahan warna daun yang halus ini hanya bisa diamati dari permukaan bumi. Namun kini, peneliti berhasil mengembangkan metode untuk memantau perubahan tersebut langsung dari luar angkasa menggunakan teknologi satelit.
Kerja sama terbaru antara NASA dan Smithsonian Institution disebut para vulkanolog sebagai potensi “game changer” dalam sistem peringatan dini gunung berapi. Sistem ini diharapkan mampu melindungi masyarakat dari dampak paling mematikan seperti lava, lontaran batu, hujan abu, lahar, hingga gas beracun.
Florian Schwandner dari NASA Ames Research Center, California mengatakan bahwa sistem peringatan dini memang sudah ada, akan tetapi tujuan dari sistem baru ini adalah untuk mempercepat dan memperbaikinya.
Selama ini, tanda-tanda letusan seperti aktivitas gempa, perubahan ketinggian tanah, dan emisi gas sulfur dioksida bisa dideteksi dari satelit. Namun, salah satu indikator penting, emisi karbon dioksida (CO₂), masih sulit diamati karena banyaknya CO₂ di atmosfer.
Robert Bogue, peneliti doktoral dari McGill University, Kanada menjelaskan bahwa gunung yang mengeluarkan CO₂ dalam jumlah sedang tidak akan terlihat di citra satelit.
Ironisnya, justru CO₂ merupakan salah satu tanda paling awal dari aktivitas magma sebelum letusan terjadi, bahkan lebih awal daripada sulfur dioksida, menurut peneliti.
Untuk mengatasinya, ilmuwan kini menggunakan pendekatan tidak langsung: mengamati efek CO₂ pada vegetasi. CO₂ yang dilepaskan dari gunung meningkatkan kesuburan tanaman, membuat daun tampak lebih hijau dan sehat, sesuatu yang bisa dideteksi satelit. Bogue mengatakan bahwa hal yang penting adalah menemukan parameter yang bisa kita ukur sebagai pengganti CO₂ secara langsung,” kata
Sebelumnya, para ilmuwan harus mendatangi langsung lokasi gunung untuk mengukur emisi gas. Kini, dengan menganalisis warna daun dari luar angkasa, pengamatan bisa dilakukan lebih aman dan efisien, tanpa harus ke lokasi yang berbahaya atau sulit dijangkau.
Sebuah studi yang diterbitkan tahun 2024 di jurnal Remote Sensing of Environment mengkonfirmasi hubungan kuat antara CO₂ dan kehijauan vegetasi di sekitar Gunung Etna, Italia. Peneliti menemukan 16 lonjakan yang terjadi bersamaan antara emisi gas dan indeks kehijauan pohon antara 2011–2018. Nicole Guinn, penulis utama studi dan peneliti dari University of Houston, Texas mengatakan bahwa terdapat banyak satelit yang bisa digunakan untuk pemantauan jenis ini.
Meski menjanjikan, metode ini tidak bisa diterapkan di semua tempat. Banyak gunung berapi tidak memiliki pepohonan dalam jumlah cukup untuk dianalisis melalui satelit, atau vegetasinya tidak merespons CO₂ secara normal karena faktor lain seperti kebakaran atau penyakit.
Schwandner mengatakan bahwa melacak dampak CO₂ terhadap pohon bukanlah solusi Ajaib. Akan tetapi cari ini dapat mengubah paradigma dalam pemantauan gunung berapi.
Sebagai bagian dari pengembangan metode ini, NASA dan Smithsonian meluncurkan proyek AVUELO (Airborne Validation Unified Experiment: Land to Ocean), yang akan membandingkan citra satelit dengan pengamatan langsung di darat.
Tujuannya adalah memastikan akurasi antara data satelit dan realitas di lapangan, agar teknologi pemantauan berbasis luar angkasa bisa dikalibrasi dan diterapkan lebih luas ke gunung-gunung aktif lainnya di dunia.
Penemuan ini adalah kemajuan penting dalam sistem peringatan dini bencana alam. Dengan menggunakan satelit untuk mengamati perubahan kehijauan tanaman, kita bisa mendeteksi letusan lebih awal tanpa perlu mendekati gunung secara langsung.
Temuan ini menjadi krusial bagi masyarakat luas, khususnya mereka yang pertempat tinggal dekat dengan gunung, dengan memberikan lebih banyak waktu untuk evakuasi dan mitigasi, menyelamatkan nyawa dan mengurangi kerugian ekonomi. Di negara seperti Indonesia, yang memiliki lebih dari 120 gunung berapi aktif, teknologi ini bisa menjadi alat vital dalam manajemen bencana dan perencanaan wilayah.
Pendekatan ini juga memperkuat penggunaan data satelit dan kecerdasan buatan dalam pemantauan lingkungan, membuka peluang baru untuk pemodelan prediktif bencana alam. Meskipun belum sempurna, metode ini adalah langkah besar menuju sistem peringatan yang lebih proaktif dan berbasis data, bukan sekadar reaktif terhadap gejala yang sudah terlambat terdeteksi. (NJD)
Sumber: Livescience