Pertemuan Dua “Tradisi Pemikiran” (4)

sumber ilustrasi: freepik

Arena Pertemuan:
Mungkinkan Desa Cukup Pangan?

Apakah gagasan menyelenggarakan suatu pertemuan dua tradisi pemikiran merupakan hal yang benar-benar baru, atau hal yang sebelumnya sama sekali belum terpikirkan? Tentu saja tidak. Kita dalam keyakinan bahwa gagasan tersebut merupakan gagasan yang telah ada, dan besar kemungkinan banyak pihak yang juga telah mengembangkan gagasan tersebut dan tengah berupaya mewujudkannya. Sebagai contoh, ketika dunia akademi terlibat intens dalam upaya melahirkan UU Desa, maka upaya tersebut, jika ditinjau dari kerangka berpikir ini, dalam batas-batas tertentu, dapat dikatakan sebagai upaya tidak langsung untuk dapat mengenal secara lebih utuh desa, dan dengan demikian tradisi pemikirannya. Demikian halnya dengan peristiwa interaksi antara desa dan dunia akademi, baik dalam bentuk interaksi dalam riset akademi, adanya KKN (Kuliah Kerja Nyata), dapat dimaknai sebagai bagian dari “upaya” menyelenggarakan pertemuan (pemikiran) antara tradisi akademi dan tradisi desa.

Atas dasar itu, kita perlu memikirkan suatu arena yang secara sengaja disusun, untuk memungkinkan pertemuan dimaksud. Dalam hal ini, diusulkan “desa cukup pangan” sebagai arenanya. Desa cukup pangan dipahami sebagai:

Bentuk kehidupan desa yang menempatkan pangan bukan sebagai komoditas, melainkan sebagai bagian tak terpisahkan dari siklus kehidupan yang mengikat manusia, alam, dan kebudayaan lokal. Sistem pangan dalam desa cukup pangan berakar pada realitas sosio-ekologi setempat dan bertumpu pada sistem pengetahuan desa yang hidup dalam praktik, ritus, dan relasi ekologis. Kecukupan, keadilan, dan keberlanjutan menjadi prinsip dasar yang menuntun produksi, distribusi, dan konsumsi pangan dalam semangat menjaga keberlangsungan hidup bersama.

Apa yang dapat dipelajari dari pemahaman tersebut? Pertama, bahwa desa cukup pangan merupakan wujud kehidupan desa yang menempatkan pangan tidak sebagai barang dagangan atau komoditas pasar, melainkan sebagai elemen kehidupan yang menyatu dalam siklus ekologis dan sosial yang dijalani sehari-hari oleh masyarakat. Dalam pandangan ini, pangan tidak dipisahkan dari tanah, musim, kerja, relasi antarmanusia, dan penghormatan terhadap alam. Menanam, memanen, menyimpan, dan mengkonsumsi pangan bukan sekadar aktivitas ekonomi, tetapi merupakan laku hidup yang sarat nilai, ritus, dan tanggung jawab antargenerasi.

Kedua, bahwa sistem pangan dari desa cukup pangan tertanam dalam realitas sosio-ekologis setempat, artinya tidak didesain dari luar, tetapi lahir dari keterhubungan yang khas antara masyarakat dengan ruang hidupnya: tanah, air, benih, biodiversitas, iklim lokal, dan ritme musim. Di dalam sistem ini, keputusan-keputusan terkait pangan—apa yang ditanam, bagaimana didistribusikan, kapan dikonsumsi—selalu mempertimbangkan keseimbangan ekologis dan ketahanan sosial. Ini bukan sistem netral, tetapi sistem yang berwajah lokal, bernalar kultural, dan bertumpu pada rasa tanggung jawab kolektif.

Ketiga, bahwa fondasi pengetahuan yang menopang desa cukup pangan bukanlah instruksi teknokratis, melainkan sistem pengetahuan desa yang hidup dalam praktik, diwariskan lewat pengalaman, cerita, dan kerja bersama. Pengetahuan tentang benih, tanah, air, serta cara menyikapi musim dan hama tidak dipisahkan dari makna hidup bersama, dari sejarah desa, maupun dari hubungan spiritual dengan alam. Sistem pengetahuan ini bersifat relasional, partisipatif, dan regeneratif — dijaga oleh komunitas dan diperkuat oleh kebersamaan.

Keempat, bahwa desa cukup pangan berdiri di atas tiga prinsip utama:

  1. Kecukupan: Artinya sistem pangan tidak didorong oleh hasrat untuk berlebih atau produksi tak terbatas, tetapi oleh semangat cukup untuk semua, sesuai dengan kebutuhan riil dan daya dukung ekologis desa.
  2. Keadilan: Menyangkut akses yang merata terhadap sumber pangan dan hasil produksi, perlindungan terhadap kelompok rentan (perempuan, lansia, petani kecil), serta pembagian manfaat secara kolektif tanpa menindas atau memarjinalkan.
  3. Keberlanjutan: Mewujud dalam praktik yang menjaga kesuburan tanah, keanekaragaman hayati, siklus air, dan keberlangsungan sistem pangan lintas generasi, bukan hanya jangka pendek atau berorientasi pasar.

Dengan demikian, desa cukup pangan bukan semata-mata model ketahanan pangan, melainkan sebuah kerangka hidup yang memulihkan hubungan manusia dengan bumi, pengetahuan dengan kebijaksanaan, dan produksi dengan perenungan nilai. Ia adalah ruang kehidupan yang adil dan ekologis, tempat pangan menjadi pengikat kehidupan bersama, bukan alat dominasi – dengan motif apapun.

Pertemuan

Sangatlah jelas bahwa konsepsi desa cukup pangan mengandaikan sebuah sistem pangan yang tidak terlepas dari alam sebagai ruang hidup, masyarakat sebagai pelaku relasional, dan pangan sebagai bagian dari siklus kehidupan, bukan sebagai komoditas ekonomi. Sistem pangan ini tidak bisa dibangun hanya dari satu jenis pengetahuan atau satu cara berpikir. Hendak dikatakan bahwa dibutuhkan dua poros epistemik — tradisi pemikiran desa dan tradisi pemikiran akademi — yang masing-masing membawa unsur penting yang saling melengkapi.

  • Dari tradisi Desa — yang diwujudkan melalui sistem pengetahuan desa — mengandung kapasitas-kapasitas utama yang membentuk dasar dari sistem pangan yang hidup dan kontekstual, yaitu:
  1. Pengetahuan ekologis lokal: pemahaman mendalam tentang tanah, air, benih, musim, dan biodiversitas setempat.
  2. Sistem nilai dan moral pangan: seperti kesadaran akan cukup, penghormatan terhadap panen, dan keadilan dalam distribusi hasil.
  3. Praktik regeneratif: keberlanjutan sistem pangan tidak dijalankan lewat konsep, tetapi lewat laku hidup dan pewarisan antar generasi.
  4. Relasi sosial-ekologis: pangan terjalin dengan gotong royong, ritus, dan tata etika hidup bersama.

Keempat hal tersebut, walaupun belum sepenuhnya mewakili tradisi desa, namun dapat dikatakan sebagai unsur-unsur utama, yang tanpanya sistem pangan desa, akan kehilangan jiwa dan kontekstualitasnya.

  • Dari Tradisi Akademi – diperoleh sumbangan peran yang tidak dimiliki secara inheren dalam sistem pengetahuan desa, yaitu:
  1. Kemampuan reflektif sistemik: akademi mampu membaca sistem pangan secara struktural — termasuk dinamika ekonomi-politik global, pola ketimpangan, dan struktur produksi yang eksploitatif.
  2. Pemanfaatan teknologi dan inovasi adaptif: akademi mengembangkan teknologi berbasis ilmu pengetahuan yang, jika disesuaikan secara kontekstual, dapat memperkuat efisiensi dan daya tahan sistem pangan desa.
  3. Pengembangan kerangka analisis dan indikator: untuk mengevaluasi, mengukur, dan merancang intervensi kebijakan secara kritis dan argumentatif.
  4. Daya advokasi dan artikulasi ke tingkat makro: akademi dapat membawa suara lokal ke ruang kebijakan, memperluas dampak dari sistem pangan desa.

Sebagaimana tradisi desa, keempat unsur di atas, walaupun tentu tidak mewakiliki keseluruhan tradisi akademi, namun dapat dikatakan bahwa tanpa keempat unsur tersebut, sistem pangan desa berisiko terisolasi, sulit berkembang, atau tertindas oleh sistem eksternal.

  • Pertemuan – sangat disadari bahwa ada titik-titik dalam desa cukup pangan yang tidak dapat diisi oleh salah satu tradisi secara tunggal, dan karenanya memerlukan dialog dan kerja bersama antara dua tradisi pemikiran. Titik-titik itulah yang menjadi medan ko-produksi pengetahuan. Antara lain:
  1. Perumusan sistem pangan yang adaptif terhadap perubahan iklim
    → butuh pengalaman lokal + data iklim + prediksi ilmiah.
  2. Desain distribusi pangan adil berbasis komunitas
    → butuh nilai gotong royong lokal + kerangka keadilan sosial dan kebijakan publik.
  3. Pemulihan benih lokal dalam konteks dominasi benih hibrida industri
    → butuh pengetahuan varietas lokal + kajian agronomi dan perlindungan hayati.
  4. Pemetaan daya dukung ekologis desa
    → butuh pengetahuan lokasi, ritual tanah, penggunaan air lokal + metode riset geografis dan ekologi lanskap.
  5. Formulasi indikator desa cukup pangan
    → butuh indikator dari pengalaman hidup warga + instrumen pengukuran yang dapat digunakan lintas waktu dan wilayah.

Beberapa hal tersebut, merupakan contoh dari potensi titik temu dalam kerangka desa cukup pangan. Dalam batas tertentu, dapat dikatakan bahwa tanpa titik temu ini, sistem pangan bisa menjadi terlalu tradisional tanpa refleksi, atau terlalu teknokratis tanpa akar.

Tiga Tahap

Jika gagasan di atas bisa diterima, maka yang selanjutnya dibutuhkan adalah bagaimana cara memungkinkan pertemuan dimaksud? Tahapan apa yang dibutuhkan, agar maksud utama bisa diselenggarakan? Dalam kerangka ini, kita hendak mengajukan tiga tahap utama yang dapat dijadikan kerangka konseptual dan operasional untuk mencapai pertemuan antara tradisi pemikiran desa dan akademi dalam arena desa cukup pangan, dengan tujuan membangun relasi hidup yang melahirkan sistem pengetahuan baru — sebuah hasil dari perjumpaan yang sejajar dan transformatif. Adapun tiga tahap yang dimaksud adalah:

  • Tahap I:
    Pembuka Jalan – Membangun Kesetaraan dalam Pengalaman

Pada tahap awal ini, masing-masing pihak diasumsikan telah memahami mengenai maksud dan tujuan, serta syarat-syarat yang dibutuhkan bagi terjadinya suatu pertemuan sebagaimana yang diharapkan. Adapun tahap awal (tahap I), ditujukan untuk membongkar sekat epistemik dan sosial antara tradisi desa dan akademi melalui pengakuan atas keberadaan dan martabat masing-masing sebagai “sumber pengetahuan yang sah”. Adapun tindakan utama yang dapat dipertimbangkan adalah:

  • Menyelenggarakan ruang saling dengar di desa, bukan sebagai lokakarya teknis, tetapi sebagai forum narasi dan pengalaman: desa berbagi laku hidup pangan, akademi berbagi kerangka pandang.
  • Menggunakan bahasa yang saling dikenali: narasi, cerita, laku hidup, simbol, bukan jargon akademik atau instruksi birokratis.
  • Mengundang warga desa dan akademisi tidak sebagai pakar atau objek, tetapi sebagai rekan pejalan dalam membongkar persoalan dan kemungkinan bersama.

Masing-masing pihak diharapkan ada dapat memperlihatkan: (a) kerendahan hati epistemologis; (b) Keadilan naratif; dan (c) Pembatalan asumsi superioritas. Kesetaraan lah yang secara bersama-sama dan timbalbalik harus diupayakan hadir secara utuh.

  • Tahap II:
    Penjajakan – Merawat Ketegangan, Menyusun Kesalingterhubungan

Jika tahap pertama dapat dilalui dengan gemilang, maka yang selanjutnya dibutuhkan adalah upaya menumbuhkan ruang kerja bersama di mana pengetahuan desa dan akademi tidak sekadar berdampingan, tetapi saling “mengganggu”, menggugah, dan memperluas horizon masing-masing. Masing-masing pihak harus berhasil menemukan ruang kemungkinan bagi pertemuan (suatu pertemuan yang dilandasi kesetaraan, saling respek dan saling dukung). Adapun tindakan utama yang dapat dipertimbangkan adalah:

  • Melakukan proses pencarian pengetahuan yang dilakukan secara kolaboratif oleh pihak-pihak yang berasal dari tradisi pemikiran berbeda, dengan posisi setara sebagai subjek penanya, penafsir, dan pencipta makna. Langkah ini bertujuan membongkar persoalan bersama melalui pertukaran perspektif, pengalaman, dan metode, tanpa mengutamakan satu sistem pengetahuan di atas yang lain.
  • Menyatukan pengamatan lokal (lokasi benih, praktik tanam, kalender musim) dengan kerangka analitis akademik (ekologi lanskap, ekonomi politik pangan, perubahan iklim).
  • Menciptakan medium baru yang menyatukan dua bahasa pengetahuan: misalnya peta hidup pangan, ritus yang dibaca secara reflektif, atau data yang dimaknai secara simbolik.

Masing-masing pihak diharapkan ada dapat memperlihatkan: (a) kemampuan untuk membentuk kolaborasi pengetahuan; (b) “pluralitas” metodologis; dan (c) interrelasi antara praktik dan refleksi. Tahap ini menjadi tahap yang sangat penting, karena segala sekat harus dapat ditransformasi menjadi jembatan.

  • Tahap III:
    Pemulihan Dunia Hidup – Menghasilkan Sistem Pengetahuan Baru yang Terletak (“bersarang”) dan Terbuka

Tahap kedua akan menjadi basis utama tindakan-tindakan pada tahap ketiga, yang diharapkan dapat menghasilkan atau melahirkan sistem pengetahuan yang: (i) berakar pada kehidupan desa, (ii) dalam kapasitas untuk membaca dan merespons perubahan global, dan (iii) dan terbuka untuk terus tumbuh sebagai tradisi pemikiran hibrid. Adapun tindakan utama yang dapat dipertimbangkan, antara lain:

  • Menyusun hasil belajar bersama dalam dua format: narasi komunitas dan refleksi akademik — ditulis bersama, dibaca bersama, untuk membangun kesadaran bersama atau suatu perspektif baru.
  • Menerjemahkan hasil pertemuan menjadi praktik sistem pangan baru: misalnya model pertanian regeneratif, distribusi pangan adil, manajemen benih lokal, yang lahir dari dua sumber pengetahuan.
  • Membentuk ruang pembelajaran berkelanjutan: sekolah lapang desa-akademi, laboratorium sosial pangan, atau forum refleksi antar generasi.

Masing-masing pihak diharapkan ada dapat memperlihatkan sifat transformasional: (a) regenerasi epistemik; (b) kesalingterbukaan lintas tradisi; dan (c) keterhubungan pengetahuan dengan keberlanjutan hidup.

Ketiga tahap ini — pembukaan relasi, penjajakan pengetahuan, dan pemulihan dunia hidup — bukan sekadar tahapan teknis, tetapi proses pembelajaran dan refleksi dalam rangka menuju suatu bentuk pengetahuan yang: Tidak hanya menjelaskan realitas, tetapi menghidupinya. Tidak hanya memadukan dua sistem, tetapi melahirkan sistem baru — yaitu pengetahuan yang tertanam dalam tanah desa dan terbuka terhadap cakrawala dunia. Desa cukup pangan, dalam kerangka ini, bukan hanya tujuan, tetapi jalan: jalan menuju bentuk hidup dan berpikir yang memulihkan dunia bersama. [Desanomia – 11.4.25 – TM]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *